ACTA Geram Remaja Malang Dituntut Bui Seumur Hidup

Ketua ACTA Hendarsam Marantoko mengkritik keputusan jaksa yang menuntut ZA seumur hidup penjara karena melawan begal yang perkosa pacarnya.
Ketua ACTA Hendarsam Marantoko saat melakukan konferensi pers di posko ACTA, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 21 Januari 2020. (Foto: Tagar/Moh. Yaqin)

Jakarta - Ketua Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Hendarsam Marantoko mengkritisi keputusan jaksa yang menuntut ZA, remaja berusia 17 tahun di Malang, Jawa Timur, dengan hukuman seumur hidup penjara. 

Padahal, pria itu diketahui bermaksud membela diri dengan melawan begal yang hendak memperkosa pacarnya. Hendarsam menilai tuntutan jaksa tidak tepat.

Jaksa tidak punya nurani, menyakiti ZA selaku korban yang membela diri. Termasuk menyakiti rakyat yang mencari keadilan.

"Pembunuhan berencana itu harus jelas mekanismenya. Kok bisa jaksa percaya kalau itu pembunuhan berencana," kata Hendarsam, di kantor ACTA, Cikini, Jakarta, 21 Januari 2020.

Hendarsam mengatakan jaksa tidak memiliki hati nurani dalam menetapkan keputusan. Menurut dia, ZA adalah korban kejahatan yang salah sasaran apabila dihadiahi ancaman hukuman berat. 

"Jaksa tidak punya nurani, menyakiti ZA selaku korban yang membela diri. Termasuk menyakiti rakyat yang mencari keadilan," ujar dia.

Hendarsam mengaku akan menempuh langkah konkret untuk menyelamatkan ZA. Pertama, dia akan segera menghadap ke Komisi III DPR RI, kemudian ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk mengintervensi kasus ini.

"Selama ini ACTA konsen ke arah keadilan dan penegakan hukum. Kami akan ke Komisi III tapi akan juga akan surati komisi perlindungan anak. Jadi tidak hanya melalui praktisi hukum tapi juga lembaga perlindungan anak ini penting," ujarnya.

Lebih lanjut Hendarsam mengakui tidak adanya keselarasan antara aparat penegak hukum. Seharusnya, kata dia, kasus ZA dapat dibedakan karena alasan darurat pembelaan diri. Selain itu korban masih berusia 17 tahun dan dapat merusak masa depannya.

"Memang tidak bisa dipungkiri dalam kondisi tertentu tidak sama. Tapi spiritnya harus sama yaitu melindungi kepentingan korban. Seolah-olah kepentingan korban tidak dilalukan," ucapnya.

Jika ZA dianggap melakukan pembunuhan berencana lantaran diketahui membawa senjata tajam. Menurutnya, membawa senjata bukan berarti untuk melakukan upaya kejahatan.

Dia mencontohkan di sebuah daerah Sumatra Selatan membawa senjata itu sudah menjadi hal yang lumrah. Sebab, keseharian masyarakat sekitar yang memegang senjata untuk menjaga diri ketika terjadi ancaman.

"Seperti Sumatra Selatan itu memang sudah menjadi alat yang selalu dibawa. Di tempat saya senjata menjadi pakaian karena selalu melekat di tubuh. Karena senjata belum tentu digunakan untuk berbuat kejahatan tetapi untuk jaga diri kalau misal ada sebuah kejahatan bisa digunakan sewaktu-waktu," tuturnya.

Sebelumnya, 14 Januari 2020, ZA menjalani sidang di Pengadilan Negeri Kepanjen, Malang. Dalam sidang perdananya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa ZA dengan dakwaan primer pasal 340 KUHP tentang tindakan pembunuhan berencana subsider pasal 338, pasal 351 dan UU Darurat pasal 2 (1). []

Berita terkait
Tanggapi Cuitan Andi Arief, ACTA Laporkan Komisioner KPU ke DKPP
Polemik hoaks 7 kontainer berisi surat suara pemilu yang telah dicoblos berlanjut.
Rencana ACTA Laporkan Presiden Jokowi Salah Alamat
Rencana ACTA laporkan Presiden Jokowi salah alamat. “Istana bagi kepentingan presiden untuk urusan resmi atau pribadi, bukan domain Ombudsman," ujar Misbakhun.