Untuk Indonesia

Aceh, Negeri Khilafah di Indonesia

Peraturan di Aceh tergolong unik, jika tidak bisa dibilang "aneh".
Terpidana pelanggar Syariat Islam menjalani eksekusi hukuman cambuk (uqubat) di Stadion Tunas Bangsa, Lhokseumawe, Aceh, Selasa (7/8/2018). Pengadilan Mahkamah Syariah menjatuhkan hukuman 21 hingga 30 kali cambuk kepada empat warga, yang terbukti dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum Jinayat qanun syariat Nomor 6 tahun 2014 tentang Khalwat (zina) dan Khamar (perdagangan minuman keras), satu orang di antaranya merupakan warga non muslim, bersedia menjalani hukuman cambuk atau tunduk pada hukum syariat Islam di Aceh. (Foto: Ant/Rahmad)

Oleh: Denny Siregar*

Aceh adalah negeri di ujung barat Indonesia.

Ia merupakan daerah istimewa, di mana berlaku peraturan yang berbeda juga dengan Indonesia. Provinsi dengan gelar otonomi ini memang tergolong konservatif dalam menerapkan peraturan daerahnya yang berbasis syariah.

Buat sebagian besar masyarakat Indonesia, peraturan di Aceh tergolong unik, jika tidak bisa dibilang "aneh". Di sana ada yang namanya polisi syariah, yaitu "polisi" yang mengawasi cara bertindak dan berlaku masyarakat warga Aceh.

Misalnya dalam cara berpakaian. Di Aceh, pakaian harus memenuhi syariat, yaitu harus sangat sopan. Bahkan lelaki bercelana pendek pun tidak boleh turun ke jalan kalau tidak ingin kena razia. Dan kalau ketangkap, hukumannya bisa kena cambuk. Itu baru lelaki, karena untuk perempuan jauh lebih ketat lagi.

Berpacaran adalah hal yang tabu di Aceh. Razia demi razia digencarkan untuk mencegah non muhrim berdekatan. Jangankan berboncengan sepeda motor berduaan, ngopi berduaan di kafe aja dilarang. "Supaya tidak ada pelanggaran syariat Islam..." kata Kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireuen.

Jangan cerita tentang serunya aksi Tom Cruise dalam film Mission Impossible pada warga Aceh, karena tidak ada bioskop di sana. "Bioskop haram di Aceh..." kata seorang teman. "Gua kalo mau nonton bioskop ya harus ke Medan".

Bahkan hanya untuk membuka bioskop saja di Aceh, Pemda sana harus studi banding ke Arab Saudi yang juga baru membuka bioskop sesudah 30 tahun dilarang.

Meskipun saya menghormati peraturan otonomi daerah yang begitu konservatif di Aceh, saya ngeri membayangkan hidup di sana. Betapa terbatasnya segala hal yang biasa saya lakukan di Jakarta, Surabaya, Bandung - apalagi Bali - dan beberapa kota besar lainnya di mana saya pernah tinggal cukup lama.

Di Bali misalnya, saya hampir selalu bercelana pendek apalagi saat mengunjungi pantainya yang indah. Kebayang kalau ada "polisi syariat" di Bali, saya sudah pasti kena cambuk berkali-kali.

Apakah dengan semua ketatnya peraturan syariat Islam itu, Aceh bebas dari maksiat?

Ternyata tidak juga. Baru-baru ini terbongkar prostitusi online di Aceh yang melibatkan sekian banyak mahasiswi sebagai pelakunya. Siapa pelanggannya? "Ada juga pejabat Aceh.." kata germonya. "Mereka suka pesan yang putih dan bersih.." Itu kode dengan artian "yang mulus dong, bro, jangan yang geradakan kayak jalan belum di aspal.."

Dan hasil dari peraturan syariat yang sangat ketat itu ternyata juga adalah korupsi. KPK menangkap Gubernur Aceh karena selewengkan dana otsus. Sayangnya, di Aceh belum ada hukuman potong tangan buat pencuri. Jadi para pejabatnya masih bisa kembali pake rompi oranye dan dadah-dadah di kamera televisi.

Mungkin sama kayak di Indonesia, di mana DPR-nya takut membuat hukuman mati untuk para koruptor. Karena pelakunya banyak yang dari golongan mereka juga. Senjata makan tuan nantinya.

Aceh adalah gambar kecil bagaimana hukum syariat berlaku di Indonesia.

Sebuah contoh, bagaimana negeri ini nanti akan sibuk dengan hal remeh temeh masalah pakaian dan norma, tetapi jauh dari keunggulan teknologi. Indonesia yang sibuk berdebat masalah surga dan neraka, tetapi melongo melihat negara tetangga sudah menciptakan robot yang bisa menggantikan pekerja.

Model seperti inilah yang ingin diterapkan oleh kelompok pendukung khilafah seperti HTI dan PKS nantinya. Sebuah negara konservatif berbasis agama, yang sibuk menjaga warganya dari maksiat, tetapi tidak sibuk mengembangkan potensi dirinya.

Negara-negara kapitalis pasti senang jika Indonesia seperti ini, karena akan lebih mudah mengeruk kekayaan alamnya. Cukup membayar ulama berfatwa "haram" maka kita akan terpenjara tidak dapat berbuat apa-apa menyaksikan mereka mengeruk semua milik kita.

Karena itulah kita berjuang supaya negeri ini tetap seperti adanya. Dengan segala kekurangannya, Indonesia masih menjadi surga bagi kebhinekaan dan kebebasan dalam berekspresi.

Kalau pengen khilafah, silakan tinggal di Aceh saja. Di Indonesia, kita masih bebas seruput secangkir kopi tanpa takut ada razia segala..

Ah, nikmatnya…

*Denny Siregar Penulis Buku 'Tuhan dalam Secangkir Kopi'

Berita terkait