9 Tahun Lebaran di Pinggir Rel Kereta Api

Berbeda dengan Ahmad Fathul Bahri. Pria warga kelahiran Bangkalan, Jawa Timur ini justru berlebaran di pinggir rel kereta api
Ahmad Fathul Bahri ketika menjaga perlintasan kereta api Jalan Gayung Sari, Kota Surabaya hingga menjelang petang hari. (Foto: Tagar/Adi Suprayitno)

Surabaya - Lebaran biasanya menjadi momen untuk berkumpul dengan keluarga. Silaturahmi ke sanak saudara. Saling memafkan setelah satu bulan berpuasa Ramadan.

Berbeda dengan Ahmad Fathul Bahri. Pria warga kelahiran Bangkalan, Jawa Timur ini justru berlebaran di pinggir rel kereta api.

Dia menjaga perlintasan karena tidak ada palang pintu. Dia harus berdiri di tengah atau pinggir rel melawan panas terik matahari sejak pagi hingga petang.

Ratusan kendaraan lalu lalang setiap menit, lewat dari depannya. Bisa jadi mereka adalah warga yang sedang mudik, menuju tempat tinggal keluarga untuk merayakan Lebaran bersama.

Namun Ahmad tidak cengeng. Tidak serta merta kecil hati meski pada 1 Syawal tidak sedang kumpul bareng keluarga. Ada sebuah tanggung jawab yang sedang dia jalankan untuk membantu orang-orang agar tidak sampai kecelakaan tertabrak kereta api yang sedang lewat.

Bagi dia, melihat orang atau pengendara selamat dari terkaman si ular besi sudah menjadi sebuah kepuasan tersendiri. Itu kemudian mengalahkan rasa sedihnya yang tak bisa kumpul dengan keluarga menikmati kebersamaan dan mencicipi sajian Lebaran. 

"Hari ini kan merupakan hari spesial dalam merayakan Idul Fitri untuk berkumpul dengan keluarga," ungkap Ahmad, ditemui Rabu 5 Juni 2019 sore, seperti menegaskan bahwa dia harus menjaga perlintasan jangan sampai ada yang celaka.

Profesi penjaga perlintasan kereta sudah dia lakoni sejak 2009. Dia sudah karib dengan kebisingan jalan dan teriknya matahari. Perlintasan kereta api Jalan Gayung Sari, Kota Surabaya menjadi lapak kemanusiaannya, menolong sesama meski harus rela meninggalkan rumah sebagai lapak pribadinya.

"Sudah sembilan tahun saya jaga perlintasan ini, tiap Lebaran ya di sini. Yang penting pengguna kendaraan merasa nyaman dan tak khawatir ada kereta api lewat," tuturnya.

Hebatnya, selama dia menjadi penjaga perlintasan kereta, tak sepeser pun dia menerima upah dari otoritas perkeretaapian yakni PT (Persero) Kereta Api Indonesia (PT KAI).

PT KAI Daerah Operasi (Daop) VIII menganggap perlintasan Gayung Sari yang selama ini dijaga Ahmad adalah liar.

Padahal perlintasan tanpa palang itu, jalur padat kendaraan setiap harinya. Bahkan jalur itu koneksi ke perumahan elite dan jalan menuju Masjid Al Akbar Kota Surabaya.

Ahmad baru akan mendapat rezeki dari pemberian warga yang menggunakan jalur itu. Mereka membayar jasa Ahmad yang selalu mengawasi perlintasan dan mengabari jika ada kereta mau lewat. Rupiah yang dia raup pun tak terlalu besar. Hanya Rp 60 ribu per harinya. 

"Saya tinggal duduk saja, orang kalau lewat rel menengok kanan kiri dulu. Ini membuktikan orang was-was melintas. Apalagi tak ada sama sekali yang berjaga. Kalau saya berdiri di tengah rel, orang tak lagi was-was tanpa menoleh," tuturnya, soal tugas yang dia emban setiap hari, dan mendapat jasa atas tugas itu dari para pengendara.

Namun, Ahmad tak sendiri di sana mengais rezeki dan menebar tanggung jawab. Masih ada delapan rekannya yang lain. Mereka secara bergantian menjaga perlintasan. Satu kali empat jam, mereka berganti berdiri mengawasi perlintasan itu.

Selama empat jam, Ahmad dan rekannya yang lain saat bertugas, terus memonitor kalau-kalau kereta bakal mau lewat. Dan, meski dia mendapat keuntungan dari sana, pria paruh baya ini justru berharap pemerintah mau memasang palang pintu di perlintasan kereta.

Mau ada palang, mau ada penjaga pintu atau tidak ada, aturannya memang gitu. Selama ini orang salah kaprah. Meskipun tidak ada penjaga yang penting ada tanda stop

Pemerintah pernah memasang satu lampu sinyal di perlintasan itu, namun sejak lama tidak berfungsi. Dalam aktivitasnya, Ahmad selalu mengandalkan hafalan jadwal kereta yang akan lewat. Konsentrasi mata untuk memandang rel sisi kiri dan kanan sudah menjadi keahlian Ahmad.

"Sudah hafal jadwal kereta api yang akan lewat. Biasanya terlihat kalau akan ada kereta api melintas," tuturnya.

Tak Penting Penjaga

Coba simak pengakuan Manajer Humas PT KAI Daop VIII Suprapto ini. Dia memiliki penilaian berlandaskan aturan, bahwa perlintasan seperti yang dikawal Ahmad dkk tak harus dijaga. 

Suprapto mengatakan, total perlintasan kereta api di bawah Daop VIII ada 568 titik. Dari total itu perlintasan yang terjaga ada 164 titik, sementara sisanya 404 titik perlintasan tidak terjaga.

Dia sebutkan, pada Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, bahwa penjaga pintu, palang pintu, dan sirene hanyalah alat bantu keamanan saja.

Sementara alat utamanya adalah rambu tanda stop yang bentuknya segi enam warnanya merah. "Selama ini semua orang salah kaprah, sebenarnya alat utamanya adalah rambu tanda stop," terangnya.

Dalam undang-undang itu, pengemudi yang akan lewat perlintasan wajib berhenti di rambu tanda stop, lalu tengok kanan kiri selanjutnya boleh melintas.

Meskipun kereta terlihat masih jauh, masyarakat yang hendak lewat tetap harus berhenti. "Mau ada palang, mau ada penjaga pintu atau tidak ada, aturannya memang gitu. Selama ini orang salah kaprah. Meskipun tidak ada penjaga yang penting ada tanda stop," kilahnya.

Sedangkan penutupan perlintasan kereta api menjadi kewenangan pemerintah daerah, termasuk menutup perlintasan liar.[]

Baca juga:

Berita terkait
0
Usai Terima Bantuan Kemensos, Bocah Penjual Gulali Mulai Rasakan Manisnya Hidup
Dalam hati Muh Ilham Al Qadry Jumakking (9), sering muncul rasa rindu bisa bermain sebagaimana anak seusianya. Main bola, sepeda.