888 Babi Mati di Bali, Ekonomi Warga Tergerus

Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan mencatat kasus kematian babi di Provinsi Bali dalam satu bulan terakhir mencapai 888 ekor.
Ilustrasi peternakan babi. Jutaan babi di China mati terserang virus flu babi Afrika. (Foto: fwi.co.uk).

Jakarta- Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat kasus kematian babi di Provinsi Bali dalam satu bulan terakhir mencapai 888 ekor yang pada beberapa lokasi peternakan. Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana mengatakan kematian ratusan babi itu menimbulkan kerugian ekonomi masyarakat.

Menurut Wisnuardhana, kasus kematian babi di beberapa kabupaten/kota di Bali disebabkan oleh virus. Meningkatnya babi yang mati membuat ekonomi masyarakat tergerus. "Kematian babi membuat peternak menjual babi secara tergesa-gesa," katanya seperti dikutip dari Antara, Selasa, 11 Februari 2020.

Sementara itu, Direktur Kesehatan Hewan Kementan Fadjar Sumping Tjatur Rasa menegaskan bahwa kematian babi tersebut belum dipastikan karena penyakit African Swine Fever (ASF) atau yang biasa dikenal sebagai virus flu babi Afrika.

"Perlu dicatat bahwa kematian babi tersebut belum pasti karena ASF. Kami masih dalam proses pengujian dan diagnosa," katanya dalam pesan yang diterima Antara.

Fadjar menyebutkan, kasus kematian pada 888 ekor babi ditemukan di Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Denpasar, Gianyar, dan Tabanan. Kematian babi yang diduga karena ASF tersebut masih memerlukan pengujian dan diagnosa di laboratorium rujukan yang saat ini sedang dalam proses.

Wisnuardhana menyebutkan peningkatan kasus kematian ini kemungkinan akibat masuknya agen penyakit baru serta didukung faktor lingkungan kandang yang kurang bersih dan sehat. "Penularan dapat terjadi melalui kontak antara babi sakit dengan babi sehat atau sumber lainnya seperti pakan, peralatan kandang, dan sarana lainnya," ucapnya.

Ia menduga kasus kematian babi di beberapa kabupaten/kota ini disebabkan oleh virus. Berdasarkan hasil penelusuran ke lokasi kasus, babi yang mati menunjukkan tanda klinis seperti demam tinggi, kulit kemerahan, terutama pada daun telinga, inkordinasi, dan pneumonia.

Menurut Wisnuardhana, ini merupakan kasus terindikasi ASF atau flu babi Afrika. Indikasi ini juga didukung hasil pengujian laboratorium BBVet Denpasar. Namun untuk konfirmasi masih memerlukan pengujian dan diagnosa di laboratorium rujukan yg saat ini sedang dalam proses.

Adapun langkah-langkah strategis Pemda Bali dan Kementan untuk mencegah penyebaran penyakit adalah melalui pembentukan jejaring informasi dan respons cepat penanganan kasus. Selain itu juga investigasi terhadap sumber penularan, hingga pengambilan sampel babi untuk pemeriksaan laboratorium.

"Melalui komunikasi, informasi dan edukasi yang melibatkan desa adat, asosiasi peternak babi dan masyarakat peternak, kita ajak mereka untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penularan penyakit pada babi dengan menerapkan biosekuriti pada kandang," ucap Wisnuardhana.

Ia juga menyampaikan telah dilakukan pengawasan terhadap tempat-tempat pemotongan babi, untuk memastikan kesesuaian tata cara pemotongan ternak dengan standar operasional prosedur.[]

Baca Juga:

Berita terkait
HKBP Imbau Pemerintah Hadir Atasi Demam Babi Afrika
Persoalan virus African Swine Fever (ASF) yang mengakibatkan puluhan ribu ton ternak babi mati direspons gereja HKBP.
Demam Babi Afrika, Rusak Perekonomian Warga Humbahas
Demam babi Afrika di Kabupaten Humbahas, Sumatera Utara, berdampak luas terhadap sendi perekonomian masyarakat.
Aksi di DPRD Sumut, Boasa Simanjuntak: Save Babi
Wacana pemusnahan ternak babi oleh Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi mendapat perlawanan dari suku Batak
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.