Medan - Sebesar 80 persen kasus korupsi hasil temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah di pengadaan barang dan jasa. Bahkan temuan itu sudah ada sejak KPK berdiri pada tahun 2002. Bermacam jenis praktik di dalamnya, termasuk, suap, mark up, kolusi, nepotisme.
Kenapa tingkat korupsi dalam pengadaan barang dan jasa tertinggi? Menurut Tenaga Ahli Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), Idrali, karena anggaran pada pos itu sangat besar.
"Di tingkat nasional ada Rp 2.400 triliun anggaran belanja, sebesar Rp 1.050 triliun untuk belanja barang dan jasa. Hampir 50 persen, artinya setengahnya adalah untuk belanja barang dan jasa," katanya pada saat Diskusi Publik Sinergi dan Kolaborasi CSO, Media dan Akademisi Dalam Pencegahan Korupsi di Sumatera Utara, di Royal Coffee, Jalan Sisingamangaraja, Medan, Selasa, 1 Oktober 2019 malam.
Hanya dalam triwulan pertama sudah terjadi kebocoran Rp 50 triliun dari Rp 1.050 triliun
Lebih lanjut Idrali mengatakan, merujuk hasil riset Bank Dunia, 10- 30 persen anggaran pengadaan barang dan jasa itu bocor. Kemudian, merujuk pada hasil pemeriksaan BPK tahun 2019 pada triwulan pertama terjadi inifesiensi Rp 50 triliun dalam pengadaan barang dan jasa.
"Hanya dalam triwulan pertama sudah terjadi kebocoran Rp 50 triliun dari Rp 1.050 triliun," ujarnya.
Karena itu, kata Idrali, untuk mencegah terjadinya kebocoran maupun inefisiensi anggaran, maka akan dibangun sistem kolaborasi antar kementerian, lembaga dan pemerintah daerah dalam pelaporan anggaran.
"Setiap triwulan, setiap daerah, lembaga, kementerian diwajibkan melapor kepada Stanas PK. Kalau tidak melapor, di sistem pelaporannya berwarna merah, maka akan dilaporkan," jelasnya.
Stranas PK, setiap enam bulan sekali melaporkan ke Presiden, karena mandatnya dari Presiden. []