7 Tahun Siswa NTT Belajar di Ruang Kelas Tak Layak

Anak-anak Flores di SMPN 10, Manggarai Timur, NTT belajar di tengah ancaman ambruknya bangunan ruang kelas. Bantuan diharapkan sudah terwujud 2020.
Pengajar dan pelajar SMPN 10 Manggarai Timur, NTT di depan bangunan ruang kelas sekolah. (Foto: Tagar/Yos Syukur)

Manggarai Timur - Menimba ilmu di antara ancaman robohnya ruang kelas bukan hal mudah. Namun puluhan siswa dan siswi di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan hal itu selama tujuh tahun. 

Cuaca Kota Borong, kecamatan yang jadi Ibu Kota Kabupaten Manggarai Timur, sangat panas, Rabu, 6 November 2019. Padahal pagi baru saja beranjak, belum terlalu terik untuk ukuran siang.

Rasa gerah imbas musim kemarau di bumi Flores membuat langkahku tertuju ke sebuah kedai makan yang cukup asri di sudut Kota Borong. Berteduh sembari menyeruput kopi menjadi penawar rasa kantuk yang tiba-tiba menyergap.

Beberapa teguk isi cangkir kopi berpindah menyusuri tenggorokan, telepon seluler berbunyi. Di layar telepon tertulis nama John Mansye, rupanya kawan jurnalis dari Metro TV yang memanggil.

"Bro, siap ya kita ke Pong Ruan, Kecamatan Kota Komba, ada gedung sekolah nyaris roboh," katanya dari seberang telepon.

Tak banyak berpikir, terlebih informasi tersebut cukup menarik, aku langsung mengiyakan ajakan itu. Maka sekira pukul 10.15 Wita, kami sudah bertemu di pinggir jalan di kawasan Tanggo, Kelurahan Kota Ndora, Borong. Basa basi sesaat, kami sepakat berboncengan pakai motor ke lokasi yang direncanakan.

SMP NTT 2Papan tulis dan dinding ruang kelas yang memprihatinkan. (Foto: Tagar/Yos Syukur)

Sejam lamanya berdua motoran menuju lokasi Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 10, sekolah yang dikabarkan gedungnya hampir roboh itu. Cukup melelahkan memang, apalagi sejumlah titik jalan menuju lokasi rusak cukup parah. 

Tidak sulit mencari sekolah tersebut. Hanya tanya sekali ke warga saat tiba di Pong Ruan, bangunan sekolah sudah terlihat dari kejauhan. Ada dua unit bangunan di SMPN 10. Satu bangunan sudah permanen, berdiri kokoh dengan kualitas dinding dan atap kekinian. Bangunan ini difungsikan sebagai kantor sekaligus ruang guru dan kepala sekolah, bersebelahan dengan ruang kelas siswa IX.

Satu bangunan lagi, hanya bisa membuat geleng kepala bagi siapapun yang melihatnya. Sebuah bangunan yang jauh dari kata layak untuk tempat yang ditasbihkan menjadi organ penting pencetak generasi penerus berkualitas.

Di tengah area lapang dengan beberapa pohon kering meranggas, bangunan mengenaskan itu memanjang menghadap utara. Ukurannya sekitar 7 x 24 meter, dibagi untuk enam ruang kelas. Jadi bisa dibayangkan betapa kecilnya ruang kelas itu dibanding bangunan serupa di tanah Jawa.

Lantainya dari tanah yang mirip jenis padas. Di musim kemarau saat ini, debu langsung mengepul ketika sepatu menjejak berbareng hembusan angin. Sementara, dinding bangunan terbuat dari pelupuh berkerangka bambu. Pelupuh adalah bilahan bambu yang dipukuli sehingga pipih seperti papan.

Ya begini kondisinya, seperti bukan bangunan sekolah.

Karena disusun dari rangkaian pelupuh, rongga sudah pasti ada di antara dinding ruang kelas. Saat angin bertiup kencang, semilirnya menerpa ke dalam ruang lewat lubang-lubang itu. Cukup menyegarkan di tengah sergapan keringat tubuh yang mengucur imbas pantulan panas atap seng.

Bangunan itu diperuntukkan bagi siswa kelas VII dan VIII. Di bagian sudut dan atas ruang, sejumlah bilah bambu menjadi kerangka dan tiang penyangga bangunan. 

Senada dengan kondisi pelupuh dinding, bambu penyangga bisa dibilang rapuh. Beberapa bagiannya ada yang di makan rayap atau mulai rusak karena faktor cuaca. Alhasil, bangunan jadi miring dan seperti menunggu waktu untuk roboh.

Berdua, kami memperhatikan dengan seksama aktivitas belajar mengajar di enam ruang kelas tersebut. Semua tampak normal berbalut semangat mendulang ilmu. Meski jelas terlihat sejumlah mata siswa beberapa kali tepergok melirik ke dinding maupun atas bangunan. Ada rasa nanar bernuansa khawatir yang terpancar dari pandangan mereka.

Sejurus kemudian, seorang pria paruh baya berseragam khas pendidik datang menghampiri. "Saya Marselinus Sadin, Kepala SMPN 10," katanya sembari mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. "Saya Yos Syukur dari Tagar.id," kataku menyambut tangannya. 

SMP NTT 3Semangat belajar siswa siswi SMPN 10 Manggarai Timur, NTT, di tengah keprihatinan kondisi ruang kelas. (Foto: Tagar/Yos Syukur)

Berbincang sejenak untuk menyampaikan keperluan, kami selanjutnya dipersilahkan mengambil gambar bangunan sekolah. "Ya begini kondisinya, seperti bukan bangunan sekolah. Tapi ini bukan menjadi penghalang kami untuk mengajar. Dan anak-anak juga tetap semangat belajar meski dalam bangunannya nyaris roboh," ujar guru matematika, Hendrik Aris Mardiani saat aku memotret ruang kelas.

Dinding rapuh dan berlubang sana sini, tiang penyangga yang tak lagi kokoh menopang sehingga bangunan jadi miring, tanah yang jadi lantai ruangan hingga papan tulis yang keropos dan berongga, diakui Aris menjadikan aktivitas belajar mengajar tak nyaman. 

"Kami sangat tidak nyaman ketika mengajar. Siswa siswi juga begitu. Panas, berdebu, kasihan siswa siswi kami pak. Kondisi sekolah ini sudah hampir roboh. Kami takut kalau gedung ambruk ketika kami sedang melaksanakan belajar mengajar," tutur dia.

Marselinus Sadin menimpali, bangunan sekolah didirikan kali pertama pada tahun 2012. Tahun 2015, SMPN 10 mendapat bantuan infrastruktur dari Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur. Direalisasikan jadi sebuah bangunan bertembok dinding batu bata bersemen yang sekarang difungsikan sebagai kantor dan ruang belajar siswa kelas IX.

"Sekolah kami terdiri dari lima rombongan belajar dan 17 tenaga pendidik yang terdiri dari 3 orang aparatur sipil negara," ucap Sadin.

Kebetulan kami datang pada musim kering tapi kalau pada musim hujan pasti jadi berlumpur dan banjir.

Belum lama ini, atas kesepakatan orang tua murid lantaran prihatin melihat kondisi bangunan kelas VII dan VIII, terkumpul dana swadaya sebesar Rp 2 juta. Uang itu digunakan untuk membeli bambu dan membayar tenaga kerja.

"Tiang bambu yang lama kami ganti dengan yang baru makanya bangunan ini tidak roboh. Kalau nanti pas musim hujan kena air hujan ya pasti roboh pak," katanya.

Upaya pencegahan tersebut dilakukan setiap tahun selama tujuh tahun terakhir sembari berharap bantuan susulan dari pemerintah segera turun. "Kami sudah ajukan proposal untuk pembangunan ruang kelas baru tapi sampai saat ini belum terealisasi," tutur dia.

Dan demi menghindari kejadian yang tidak diinginkan, setiap kali musim hujan datang, terutama jika disertai angin kencang, para siswa tidak diperkenankan berada di dalam kelas "Kalau musim hujan saya perintahkan siswa agar tidak masuk di ruangan kelas. Takut ambruk. Daripada ada korban jiwa, lebih baik tidak usah masuk ruangan ketika musim hujan," ucapnya.

Ia pun berharap sebelum masuk masa ujian nasional (UN) tahun 2020, permohonan bantuan bangunan baru sudah bisa terwujud. "Kalau musim hujan tentu UN bisa tunda karena kondisi gedung sekolah ini bisa roboh," katanya lagi.

SMP NTT 4Bangunan ruang kelas di SMPN 10 Manggarai Timur, NTT, sangat memprihatinkan. (Foto: Tagar/Yos Syukur)

Kepala Bidang SMP Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Manggarai Timur Vinsen Tala menyatakan sudah mengecek kondisi bangunan SMPN 10. Ia berkesimpulan kondisi bangunan tergolong memprihatinkan.

"Kebetulan kami datang pada musim kering tapi kalau pada musim hujan pasti jadi berlumpur dan banjir. Apalagi dinding bangunan terbuat dari pelupuh yang sudah mulai lapuk, jelas sangat tidak nyaman bagi guru dan pelajar," tutur dia.

Menyikapi hal itu, Tala sudah mengkomunikasikan fakta yang ada ke pimpinannya, termasuk dilaporkan ke Bupati Manggarai Timur untuk jadi skala prioritas saat membahas APBD 2020 dengan wakil rakyat. "Supaya tahun 2020 bisa dianggarkan dana untuk ruang kelas baru bagi SMPN 10," jelasnya.

Ditambahkan, selain SMPN 10, masih ada belasan sekolah lain yang bernasib serupa. Bahkan di Pedak, ada bangunan kelas yang dua ruangannya tidak memiliki atap.

Bagi Tala, mencerdaskan anak bangsa tidak semata diukur dari gedung sekolah. Namun lebih ke model dan pola pembelajaran yang bisa dilakukan di luar ruangan. Hanya saja, belajar luar kelas bukan berarti tidak memiliki gedung sekolah.

"Gedung sekolah tetap harus ada dan layak agar proses kegiatan belajar mengajar berjalan dengan baik," ucap dia. []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Ke Sekolah, Pelajar Dairi Harus Lintasi Jalan Rusak
Saat musim hujan, tidak jarang para pelajar harus turun dari kenderaan, berjalan kaki di beberapa titik.
SD Ambruk, DPR Sentil Tak Dijalankannya Rekomendasi
Wakil Ketua Komisi X DPR menyinggung rekomendasi yang tidak dijalankan pemerintah ketika menanggapi insiden ambruknya SD di Pasuruan.
Angin Kencang Rusak 573 Rumah dan 3 Sekolah di Tegal
Angin kencang melanda empat desa di Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
0
Kapolri: Sinergitas TNI-Polri Harga Mati Wujudkan Indonesia Emas 2045
Kapolri menekankan penguatan sinergitas TNI-Polri menjadi salah satu kunci utama dalam menyukseskan dan mewujudkan visi Indonesia Emas.