Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengaku kaget dengan temuan data kekerasan dalam kebebasan sipil pada kurun 2019. Menurutnya, terdapat 6.100 lebih kasus orang dikriminalkan karena menyuarakan pendapatnya di muka umum.
"Kami tidak menyangka kebebasan sipil begitu banyak, terutama kebebasan umum ada 6100an dan 30 lebih masih dibawah umur," kata Asfinawati dalam diskusi bertajuk Kebebasan Sipil di Era Infrastruktur dan Investasi di Gedung YLBHI, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 10 Februari 2020.
Dikatakan Asfinawati, temuan data tersebut hanya tersebar di 16 wilayah provinsi di Indonesia sesuai dengan jumlah cabang LBH. Sehingga, kata dia, tidak menutup kemungkinan data tersebut bisa bertambah banyak jika mencakup seluruh provinsi.
"Kami hanya bisa mencakup 16 provinsi, artinya kalau provinsinya diperluas pelanggarannya tidak menutup kemungkinan juga semakin banyak," ujar dia.
Lebih lanjut, Asfinawati menilai pemerintah sengaja membiarkan kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap rakyat sipil. Sebab, semua pola yang digunakan dalam setiap penanganan aksi demonstrasi di beberapa daerah itu sama persis.
"Jadi 6.100an data itu diambil setidak-tidaknya diambil dari 5 kali aksi demonstrasi selama 2019. Semua polanya itu identik, mulai aksi buruh di Bandung, di Makassar, kemudian aksi-aksi di berbagai tempat soal rasisme," katanya.
Dia mencontohkan pelanggaran itu juga dialami masyarakat yang mempertahankan haknya. Ketika tanahnya dirampas oleh negara atas nama pembangunan, maka yang didapatlan adalah kriminalisasi.
"Jadi kriminalisasi ini ketika warga sedang mengurus sesuatu, baik soal menolak tambang atau aksi buruh atau reformasi dikorupsi yang lalu. Jadi ada orang ditangkap, dan juga perburuan," ucap dia
Selain itu, Asfinawati menjelaskan perburuan polisi terhadap orang yang mengikuti aksi tapi hendak pulang. Perburuan itu sampai ke stasiun yang kemudian ditangkap dan dipukul.
Menurutnya, hampir seluruh orang yang ditangkap itu pasti dipukul. Ini yang dianggapnya tidak manusiawi.
"Jadi ini merupakan tindakan balasan dari aparat agar orang tidak berani lagi menyampaikan pendapat di muka umum," kata dia. []