44 Tahun Jalan Tol di Indonesia

jalan tol pertama di Indonesia dimulai pada 1973. Jalan tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) sepanjang 46 km itu dioperasikan pada 9 Maret 1978.
Sejarah Jalan Tol di Indonesia. (Foto: ith)

Tagar, (7/9/2017) - Pembangunan jalan tol pertama di Indonesia dimulai pada 1973. Jalan tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) sepanjang 46 km itu dioperasikan pada 9 Maret 1978. Saat peresmiannya, masyarakat sekitar jakarta yang belum pernah melihat jalan aspal semulus jalan tol baru tersebut berduyun-duyun memenuhi badan jalan.

Bisa dibayangkan berapa banyak masyarakat yang datang dan betapa heboh kemeriahan yang ditimbulkan. Pedagang makanan, minuman, cindera mata, pakaian, dan lainnya memenuhi pinggir jalan tol mulai dari arah Jakarta hingga ke arah Bogor dan Ciawi. Suasana meriah bak pasar malam tercipta dadakan.

Memang, saat itu baru peresmian yang menandakan selesainya pembangunan jalan tol oleh Presiden Soeharto, namun belum digunakan sebagai jalan mobil hingga ke Ciawi. Masyarakat yang terkagum-kagum dengan aspal mulus panjang itu dihibur pula dengan terbang bebas pesawat jet tempur supersonik baru yang Indonesia miliki, HS-Hawk buatan Inggris dan F-5E Tiger buatan Amerika, yang terbang bolak-balik sepanjang tol Jagorawi.

Rasanya, saat itu, peresmian jalan tol dan penampilan pesawat tempur supersonik baru kita menjadi hiburan mewah dan paling atraktif bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya, terutama di sepanjang jalan tol Jagorawi tersebut.

Tol, Tax On Location, (Bayar) Pajak di Tempat

Mungkin tidak banyak yang tahu apa kepanjangan TOL. Jalan yang sering diasumsikan jalan bebas hambatan oleh masyrakat Indonesia ini sebenarnya telah salah kaprah bahkan kini sudah menjadi artian yang melekat.

Didunia umumnya TOL adalah kepanjangan dari Tax On Location, dimana ini memiliki arti bahwa bila ingin memakai jalan yang akan digunakan harus membayar terlebih dahulu. Adapun jalan yang bebas hambatan namun berbayar disebut tollway atau tollroad di negeri sana, sedangkan untuk jalan bebas hambatan yang gratis disebutnya freeway atau expressway, dan Indonesia belum punya jalan sejenis freeway atau expressway tersebut.

Sudiro, Walikota Jakarta (1953-1960) adalah orang yang pertama kali mengusulkan jalan tol. Ia pun mengusulkan jalan berbayar itu sebagai cara pemerintah daerah Kotapraja Jakarta mendapatkan dana tambahan untuk pembangunan.

“Pemerintah Daerah Kota Praja Jakarta Raya berusaha keras, karena pengeluarannya terus meningkat, padahal subsidi dari pemerintah pusat tetap terbatas,” tulis Subagijo IN dalam Sudiro Pejuang Tanpa Henti.

Selain tol, Sudiro juga mengusulkan retribusi satu sen dari harga normal bensin, namun ditolak menteri perekonomian; dan airport tax atau pajak bandar udara Kemayoran yang diusulkan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS), juga ditolak pemerintah pusat.

Sudiro bersama Badan Pemerintah Harian Kotapraja Jakarta menyampaikan usul jalan tol kepada DPRDS pada 1955. Usul itu muncul karena sedang pembangunan jalan raya, yang sekarang disebut Jalan Sudirman-MH Thamrin, dengan anggaran yang sangat besar.

“Di jembatan panjang, pada ujung jalan MH Thamrin itulah, diusulkan untuk didirikan tempat guna pemungutan toll bagi tiap kendaraan bermotor yang lewat di situ,” tulis Soebagijo. “Usul ini ditentang keras oleh DPRDS.”

Alasannya, ada anggota DPRDS menganggap tol akan menghambat laju lalu lintas. Anggota lain menyebut tol sebagai pajak kuno. Alasan terakhir ada benarnya. Penerapan pungutan uang untuk jalan sudah dilakukan pada zaman kolonial. Pemerintah kolonial menyewakan gerbang pemungutan tol kepada kalangan Tionghoa. Bahkan, tarif pajak didasarkan kepada kedudukan gerbang tol, selain tingkat kemakmuran rata-rata di suatu distrik.

“Jadi sepikul (61,175 kg) beras harus membayar pajak sebesar 44 sen di Ampel. Sebuah gerbang tol di Surakarta yang telah lama didirikan pada jurusan Sala-Salatiga, hanya akan terkena pajak 15 sen pada gerbang tol utama Panaraga di Jawa Timur, 8 sen di bandar Pacitan di pantai selatan dan hanya ditarik 2 sen saja di rangkah pager Waru di Pacitan,” tulis Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa.

Ketika tol dianggap ketinggalan zaman, beberapa negara menggunakan sistem tol tersebut. Hal itu berdasarkan pengalaman Sudiro sendiri ketika mengunjungi Amerika Serikat. “Tatkala Sudiro sendiri pada tahun 1961 naik mobil dari New York ke Washington, di tempat tertentu diharuskan membayartoll. Apakah dengan demikian di USA hingga saat ini toll itu juga dianggap sebagai pajak kuno,” tulis Subagijo.

Pembangunan jalan tol sekarang ini juga mendapatkan penentangan dengan alasan tidak akan menyelesaikan masalah lalu-lintas. Namun, pemerintah jalan terus bahkan pembangunan jalan tol dilakukan di berbagai daerah. Faktanya, tak bisa pula menafikan bahwa, kehadiran jalan tol di satu daerah otomatis membuka dan meningkatkan perekonomian di daerah tersebut.

Peningkatan ekonomi tentu linear dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Bila sampai di kesejahteraan, tentu ini sesuai dengan tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan? (rif/ith/bgd)

Berita terkait