300 Hektar Lahan Terbuka TN Gunung Gede Pangrango Kembali Menjadi Hutan

Bukan hanya lebih dari 4.000 orang di sekitarnya yang memperoleh manfaat, beberapa spesies satwa liar pun sudah tinggal di dalam hutan itu.
Ekosistem seluas 300 hektar di Resort Nagrak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) berhasil dipulihkan. (Foto: Dok/Dwikie Dewantoro)

Jakarta, (Tagar 3/10/2018) - Ekosistem seluas 300 hektar di Resort Nagrak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) berhasil dipulihkan. Pemulihan lahan terbuka menjadi hutan kembali ini dilakukan oleh Balai Besar TNGGP bekerjasama dengan Conservation International (CI) Indonesia, dan Daikin Industries.

Program bernama Green Wall tersebut dimulai sejak tahun 2008 dan berfokus pada 300 hektar area yang merupakan bagian dari wilayah perluasan taman nasional pada tahun 2003.

Keberhasilan ini dapat tercapai dengan pendekatan berbasis masyarakat yang menyatukan aspek sosial, ekologi, dan ekonomi dalam desain programnya, serta adanya upaya penanaman dan pengawasan berkala dengan kolaborasi yang kuat antara para pemangku kepentingan terkait.

“Green Wall merupakan salah satu dari inisiatif pemulihan ekosistem yang berhasil di Indonesia dan pertama kalinya dalam sebuah Taman Nasional di Pulau Jawa,” kata Dewan Conservation International Indonesia (CI) Indionesia, Dwikie Dewantoro.

Setelah satu dekade, sebut Dwikie Dewantoro dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tagar News di Jakarta, Rabu (3/10), 300 ha lahan terbuka tersebut kembali menjadi hutan yang menyediakan banyak manfaat dan layanan bagi masyarakat.

Dia menyebutkan, lebih dari 4.000 orang di sekitarnya memperoleh manfaat yang beragam dari hutan seperti akses air bersih, listrik, dan alternatif mata pencaharian yang digunakan dalam kehidupan mereka, seperti area rekreasi dan pembelajaran.

Beberapa spesies satwa liar pun, kata dia lagi, saat ini sudah tinggal di dalam hutan tersebut, seperti Macan Tutul Jawa/Javan Leopard (Panthera pardus melas), kijang (Muntiacus muntjak), kucing hutan/leopard cat (Prionailurus bengalensis), dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Selain itu tercatat lebih dari 50 jenis burung telah menghuni area tersebut.

Sementara itu, Ir Wiratno, MSc, Direktur Jenderal KSDAE (Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyampaikan, upaya yang dilakukan dalam program Green Wall adalah pembelajaran yang sangat berarti dalam pemulihan ekosistem, di mana  pemerintah, LSM, sektor swasta dan masyarakat secara bersinergi dan bahu membahu menyelesaikan permasalahan lingkungan dengan tidak mencederai rasa keadilan masyarakat.

Program ini, kata Wiratno, tidak hanya berhasil menghutankan kembali TNGGP, tapi juga meningkatkan kemandirian masyarakat secara ekonomi sehingga tidak menggantungkan hidupnya lagi ke dalam kawasan TNGGP secara langsung (exploitatif).

Menurut dia, dengan berhutannya kembali kawasan tersebut, masyarakat menerima manfaat secara langsung maupun tidak langsung untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui aneka manfaat hutan.

“Program ini sukses melaksanakan beberapa pendekatan baru dalam lingkup konservasi. Saya harap ini dapat dijadikan pembelajaran dan wawasan, serta dapat dilakukan hal yang serupa pada kawasan lain di Indonesia. Ada lebih dari 4.100 ha di TNGGP dan juga lahan kritis lainnya di Indonesia yang perlu dipulihkan ekosistemnya melalui kolaborasi antar pemangku kepentingan,” jelasnya.

Wahju Rudianto, Spi, MSi selaku Kepala Balai Besar TNGGP menambahkan, keunikan program ini adalah perawatan, pengawasan, dan evaluasi berkelanjutan setelah penanaman pohon serta pemberdayaan masyarakat yang disesuaikan tipologinya.

“Bersama dengan masyarakat dan para LSM, kami mengatur secara berkala untuk mengawasi pohon yang telah ditanam untuk memastikan mereka dapat tumbuh dan menjadi besar. Pendekatan ini hampir mirip dengan mandat Presiden Joko Widodo saat Hari Penanaman Pohon Nasional pada tahun 2017 bahwa menanam pohon dipastikan hidup. Kami telah sukses mengimplementasikan hal ini selama satu dekade,” ujarnya.

Adapun CI Indonesia sebagai mitra yang mengembangkan program restorasi berbasis masyarakat itu berpendapat, masyarakat adalah agen perubahan yang paling utama, karena mereka adalah penjaga hutan yang sebenarnya.

Vice President CI Indonesia Ketut Sarjana Putra mengatakan, “Kami telah melibatkan masyarakat sedari awal, dimulai dari merancang program, pemantauan, dan evaluasi. Mereka adalah kunci kesuksesan program ini, di mana ketika masyarakat merasakan manfaat dari upaya konservasi, maka masyarakat menjadi pelaku konservasi tersebut, seperti halnya mereka berpikir bahwa program Green Wall adalah investasi untuk perbaikan sistem air secara alami di wilayah mereka.”

Dodi Rahmat, Kepala Desa Cihanyawar –salah satu dari daerah yang terkena dampak positif program tersebut– menceritakan perubahan yang terjadi.

Dia mengatakan, dahulu orang-orang harus menempuh perjalanan selama tiga jam, sepanjang 4.5 km dalam sehari untuk mendapatkan akses air bersih dari sungai karena mereka tidak memiliki akses air bersih selama 30 tahun.

Sekarang, mereka mendapatkan beragam manfaat, bukan hanya air bersih, tetapi alternatif ekonomi, tempat untuk rekreasi dan belajar, dan lain-lain.

Dia juga mengatakan bahwa masyarakat lokal terlibat penuh dalam program untuk mendukung pemulihan hutan karena mereka merasakan perbedaannya secara langsung. “Setelah tahu dan mendapat dampak positif dari hutan yang ada, kami secara proaktif mendukung program itu. Pada awalnya, beberapa dari kami sangat ragu tetapi sekarang kebanyakan dari kami menjadi penjaga hutan,” ujarnya.

AC Alami

Sementara itu, Daikin sebagai sektor swasta yang mendukung program menyampaikan, “Daikin memiliki bisnis AC secara global dan kami terus berkomitmen mendukung udara yang sehat dan nyaman di samping turut berkontribusi pada kebutuhan di setiap wilayah. Tidak hanya membatasi bisnis kami dalam udara yangsegar dalam ruangan, kami memulai aktivitas konservasi hutan dengan keinginan untuk membantu masyarakat senantiasa hidup sehat dan hidup dengan nyaman dalam skala global.”

“Karena hutan berfungsi untuk menjaga kenaikan temperatur atmosfir dari adanya daun pohon, dan membersihkan udara di atmosfer melalui fotosintesis dan respirasi, kami menyebut hutan sebagai ‘AC alami’. Melalui upaya pelestarian hutan secara global dan mendukung udara yang sehat, kami ingin berkontribusi dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan,” ucap Satoru Fujimoto Honorary Officer Daikin Industries.

Berdasarkan model dari upaya konservasi hutan yang dimulai di Indonesia, Daikin memperluas aktivitas sejak 2014 ketujuh lokasi lain dalam payung inisiatif “Forest for the Air”. Selain Indonsia, perusahaan juga telah bekerja untuk mengatasi masalah sosial yang spesifik di setiap wilayah melalui upaya konservasi hutan di Brazil, China, Cambodia, Liberia, dan Indonesia, serta di Shiretoko Peninsula di Jepang.

Direktur Konservasi Hutan dan Air, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Dr Nur Hygiawati Rahayu, ST, MSc saat diundang untuk mewakili komitmen Pemerintah Indonesia dalam pencapaian SDGs, mengapresiasi program ini karena telah mendukung beberapa komponen yang ditargetkan.

“Dalam rancangan masterplan redesign pembangunan hutan Indonesia ke depan, Bappenas melihat banyak peran strategis hutan di sejumlah aspek termasuk sebagai tujuan penting dalam pencapaian Sustainable Development Goals. Program Green Wall salah satu yang telah membuktikannya. Program ini juga menunjukkan peran kunci kemitraan dalam mencapai sebuah tujuan pembangunan berkelanjutan, dan kami harap pendekatan yang dilakukan dicontoh dan bisa semakin banyak diterapkan oleh pihak lainnya”, tutup Nur Hygiawati. []

Berita terkait