3 dari 10 Orang di Amerika Hadapi Isu Kesehatan Mental

Setelah dua tahun, pandemi Covid-19 tampaknya mulai menimbulkan dampak serius pada kesehatan mental orang di AS
Ilustrasi: Semakin banyak warga AS menderita berbagai masalah gangguan mental, mulai dari kecemasan hingga depresi, akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan (Foto: voaindonesia.com/VOA)

Jakarta – Setelah dua tahun, pandemi virus corona (Covid-19) tampaknya mulai menimbulkan dampak serius pada kesehatan mental orang di Amerika Serikat (AS), dengan semakin banyak orang yang menderita berbagai masalah, mulai dari kecemasan hingga depresi.

Hampir dua tahun isolasi dan penyakit terkait pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak, tidak saja dalam hal kematian dan gejala yang tersisa, tetapi juga pola mikir kita.

Nirmita Panchal di Kaiser Family Foundation mengatakan, “Sebelum pandemi, sekitar 1 dari 10 orang dewasa melaporkan kecemasan dan gangguan depresi. Kini penelitian terbaru kami menunjukkan sekitar 3 dari 10 orang dewasa melaporkan gejala-gejala ini.”

Orang dewasa yang bekerja dan memiliki tanggung jawab paling besar tampaknya menjadi yang paling terpengaruh pandemi ini.

Direktur Program Trauma di Universitas Palo Alto, Lisa Brown, mengatakan, “Kami kerap merujuk mereka sebagai generasi roti lapis – atau 'sandwich generation' – karena mereka terperangkap diantara anak-anak kecil dan anak-anak remaja mereka, juga orang tua mereka. Pada dasarnya mereka berupaya menyeimbangkan antara pekerja dengan merawat orang tua yang memiliki kebutuhan lebih banyak karena isolasi hubungan sosialnya, dan tentunya anak-anak mereka sendiri. Mungkin mereka, masih harus atau tidak, mendidik anak-anak di rumah, sambil mengatur kehidupan sosial mereka sendiri.”

1. Trauma Kolektif

Tetapi, sesungguhnya para psikolog mengatakan pandemi menimbulkan dampak pada semua orang.

Sebagian besar orang di Amerika memiliki kerabat dekat atau teman yang meninggal dunia karena Covid-19, atau menderita kasus yang sangat parah; banyak yang kehilangan pekerjaan; anak-anak lebih banyak melewatkan waktu bersama teman sebaya, sementara anak-anak yang lebih remaja tidak bisa merayakan hari terakhir sekolah dengan 'prom dance.' Tingkat perceraian juga naik.

Para pakar menyebut semua ini sebagai “trauma kolektif,” dan salah satu alasan utama di balik semua ini adalah ketidakpastian.

Peneliti isu trauma di University of California di Irvine, Roxane Cohen Silver, mengatakan, “Ketika terjadi serangan teroris 11 September, atau musibah badai dan tornado, ada tanggal awal dan akhir kejadian. Apa yang dilakukan orang-orang setelah peristiwa-peristiwa itu adalah mencoba membangun kembali kehidupan mereka, mencoba pulih secara emosional. Dari apa yang kami lihat dalam fenomena terjadinya pandemi kali ini, tidak ada awal yang jelas, tidak ada waktu yang pasti kapan pandemi akan berakhir. Ini adalah stress yang kronis.”

Penderita kecemasan dan depresiIlustrasi: Penderita kecemasan dan depresi melonjak selama pandemi Covid-19 (Foto: voaindonesia.com/Video Grab)

2. Cara Standar Atasi Kecemasan Tak Berhasil

Para pakar mengatakan dalam pandemi Covid-19 ini, cara-cara standar untuk melawan kecemasan tidak berhasil. Nasihat yang sering diberikan kepada orang yang merasa sedih, misalnya agar mereka bertemu dengan lebih banyak teman, bepergian atau melakukan perjalanan, mengunjungi orang tua, dan menjelajahi tempat-tempat baru – sama sekali tidak aman selama pandemi.

Peneliti isu kecemasan di Ohio State University, Cheryl Carmin mengatakan, “Dan bagaimana melakukannya ketika informasi yang berasal dari CDC (), atau individu-individu yang memiliki informasi pasti, atau badan-badan pengambil kebijakan mengatakan 'jangan pergi ke tempat ramai!' Atau jika Anda suka musik, saran yang disampaikan justru 'jangan pergi nonton konser, jangan ke bioskop, jangan ke gereja atau sinagog!' karena ini semua adalah tempat-tempat di mana banyak orang berkumpul. Meskipun nasihat-nasihat ini mungkin berguna untuk mengatasi pandemi, tetapi sumber daya itu tidak ada.”

Para psikolog sendiri mengalami kesulitan yang sama dengan yang dialami orang lain.

Pakar trauma di Universitas Palo Alto, Profesor Lisa Brown mengatakan ia mencoba sebanyak mungkin berhubungan dengan teman dan orang-orang yang dicintainya.

“Inilah saatnya menjangkau orang lain. Saya punya banyak teman di kampus yang sudah lama tidak saya ajak bicara, dan mereka kemudian juga menelpon saya. Hal ini benar-benar membuat saya merasa senang dan bahagia. Saya sangat senang mereka berupaya menelpon saya. Mari kita saling bertelpon. Mari tetap berhubungan. Mari saling berkirim surat,” ujarnya.

Tetapi, para pakar juga mengatakan trauma ini tidak akan berakhir secara tiba-tiba, bahkan ketika pembatasan sosial terkait Covid-19 sudah dicabut. Perlu waktu bertahun-tahun untuk mengatasi dampak psikologis pandemi ini, tambah mereka (em/jm)/voaindonesia.com. []

Stigma Anak Yatim Piatu Covid Mendera Ribuan Anak di India

Pandemi Covid-19 Bisa Timbulkan Gangguan Kesehatan Mental

Pengasuhan Anak-anak Yatim Piatu Akibat Pandemi Covid-19

Ribuan Anak Jadi Yatim Piatu Saat Pandemi Covid-19

Berita terkait
Stigma Anak Yatim Piatu Covid Mendera Ribuan Anak di India
Ribuan anak di India kehilangan orang tuanya akibat pandemi Covid-19, mereka diterpa stigma “Anak Yatim Piatu Covid”
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.