23 Tahun Deklarasi PRD, Terang-terangan Melawan Soeharto

22 Juli 1996 dikenang sebagai hari kelahiran Partai Rakyat Demokratik (PRD). Berdirinya parpol yang menyatakan diri melawan Soeharto.
Petrus Hariyanto saat Deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) 22 Juli 1996. (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

Oleh: Petrus Hariyanto*

22 Juli 1996 dikenang sebagai hari kelahiran Partai Rakyat Demokratik (PRD). Lebih tepatnya, saat itu gerakan rakyat dari berbagai sektor mendeklarasikan berdirinya partai politik yang terang-terangan menyatakan diri melawan Pemerintahan Soeharto. Padahal, UU Partai Politik (Tahun 1985) saat itu melarang rakyat Indonesia mendirikan partai politik baru, selain PPP, PDI, Golkar.

Sebenarnya, tiga bulan sebelumnya, PRD telah lahir dalam sebuah Kongres (Kongres Luar Biasa Persatuan Rakyat Demokratik) yang berlangsung dari tanggal 14 sampai 16 April 1996, di Kaliurang, Yogyakarta. Karena alasan teknis, deklarasi baru dilakukan pada tanggal 22 Juli 1996.

Acara digelar di Kantor YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) di Jalan Diponegoro 74, Jakarta Pusat, sore hari. Agenda utamanya pengumuman secara terbuka lahirnya partai baru yang mengusung program “Menuju Demokrasi Multi Partai Kerakyatan”.

Dalam anggaran dasarnya, PRD menyatakan diri berasaskan sosial demokrasi kerakyatan. Sebagai sikap melawan  kebijakan politik saat itu tentang asas tunggal. Semua organsisasi sosial politik, termasuk partai politik, harus berasaskan Pancasila, yang terlembagakan dalam 5 Paket UU Politik Tahun 1985.

Baca juga: Disiksa Dulu Sebelum Masuk ke LP Cipinang

Hampir semua pengurus yang terpilih adalah mahasiswa dari berbagai universitas, yakni ; Ketua Umum dijabat Budiman Soedjatmiko (UGM), Sekjen dijabat oleh Petrus Hariyanto (Undip), Bendahara dijabat Ari Trismana (Undip), Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda dijabat Anom Astika (Unair), Ketua Hubungan Internasional dijabat Fransiska Ria Susanti (Undip), Ketua Departemen Pengembangan Organisasi dijabat Yokobus Eko Kurniawan (UI).

Dalam sambutannya, Ketua Umum PRD Budiman Soedjatmiko menyatakan selama 30 tahun, 8 bulan, dan 22 hari kekuasan Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, terjadi kemunduran yang fatal dalam sistem dan budaya politik. Kekuasaan eksekutif yang ada di tangan presiden kelewat tidak terbatas dengan kewenangan yang melampaui legislatif dan yudikatif.

Budiman SudjatmikoBudiman Sudjatmiko saat Deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) 22 Juli 1996. (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

Dalam membangun tradisi baru perlawanan rakyat, PRD menyatakan posisi politiknya secara terstruktur dan sistimatis dengan mengeluarkan "Manifesto Politik" PRD.

"Sejarah bangsa Indonesia sesungguhnya adalah sejarah perjuangan rakyat yang gigih melawan segala jenis penghisapan, penindasan. Namun Orde Baru telah membuat langkah mundur bila dibanding kehidupan 1950-1959, karena hak-hak dasar partisipasi politik rakyat telah dipasung dengan penerapan 5 UU Politik dan dwi fungsi ABRI," ujar Sekjen PRD, Petrus Harinyato ketika membacakan "Manifesto Politik PRD".

Baca juga: Hari Kedua di LP Cipinang, Seharian Kami Tak Makan

Dalam program organisasi PRD menyatakan alasan  pendirian partai antara lain menjadi front persatuan radikal, militan, pelopor, dan profesional. Dengan organisasi seperti ini diharapkan mampu mencari kesempatan, menciptakan representasi spektrum progresif dalam meraih kepeloporan kepemimpinan politik. Posisi ini sekaligus sebagai kritik kepada gerakan perlawanan dan gerakan oposisi di tahun ’90-an yang bersifat sektarian, baik kelompok, sektor, daerah

PRD  memandang Pemilu 1997 adalah momentum politik, di mana PRD harus terlibat di dalamnya. Mengajukan program independen kepada PDI Megawati dan Gus Dur dengan NU-nya. Critical suport kami menyebutnya, mendukung PDI Megawati, selama program-program tidak bertentangan dengan PRD, dengan sebelumnya mengkampanyekan pencabutan 5 UU Politik dan Dwi Fungsi ABRI.

Para undangan yang hadir saat itu mendapat  buku bersampul warna merah bergambar "bintang dan gerigi". Hal yang tercantum dalam buku itu merupakan keputusan konggres, antara lain; perkembangan kapitalisme di Indonesia, program perjuangan PRD, strategi dan taktik perjuangan PRD, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PRD, slogan, dan lampiran.

Sebelum KLB, tepatnya 15 Maret 1996, Persatuan Rakyat Demokratik berhasil mengajak gerakan pro-demokrasi untuk terlibat dalam momentum Pemilu lewat pendirian KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu). Selama Orde Baru berkuasa, pemilu selalu curang, bahkan sudah dimulai dari UU yang mengatur Pemilu dan kehidupan politik lainnya.

Ide pembentukan  KIPP belajar dari rakyat Filipina di zaman kediktatoran Marcos. Sebelum kejatuhan Marcos, kaum pergerakan di sana membentuk Namfrel (National Citizen's Movement for Free Election). Namfrel mampu membuktikan jika Pemerintahan Marcos melakukan kecurangan dalam Pemilu, dan menyeret kesadaran rakyat di sana untuk melakukan perlawanan.

Ketika pemerintah  merekayasa Kongres PDI di Medan (20 Juni 1996) untuk menggulingkan Megawati, PRD segera menyatakan kecaman kepada pemerintah. Pada tanggal 7 Juli 1996, PRD mendatangi kantor Menkopolkam, menolak politik intervensi ke dalam tubuh PDI. Dari sana rally menuju DPP PDI Diponegoro untuk menyatakan dukungannya kepada Megawati.

PRD Award

Setelah selesai mengumumkan hasil kongres, acara dilanjutkan dengan pemberian PRD Award. Penghargaan itu ditujukan kepada tokoh-tokoh yang konsisten dan berani melawan pemerintahan Soeharto dan menjadi teladan bagi kaum gerakan.

Yang mendapat PRD Award antara lain; Megawati Sukarnoputri, Abdurachman Wahid, Pramoedya Ananta Toer, Sri Bintang Pamungkas, Thomas Wanggai, Xanana Gusmao, Goenawan Muhamad, Penerbit Hasta (diwakili oleh Hasjim Rachman) dan George J. Aditjondro.

"Hasta Mitra akan terus memperjuangkan budaya demokrasi," ujar Hasjim Rachman, salah satu pengelola Penerbit  Hasta Mitra, setelah menerima penghargaan. Hasyim Rahman bersama Yusuf Ishak dan Pramudya Ananta Toer, ketiganya Tapol (Tahanan politik) Pulau Buru, mendirikan “Hasta Mitra”.

‘Hasta Mitra”adalah penerbit buku-buku karya Pramudaya Ananta Toer. Hampir semua karyanya dilarang oleh Kejagung untuk diterbitkan dan diedarkan ke masyarakat. Hastra Mitra melawan keputusan pemerintah itu, dengan gagah berani menerbitkan karya Pram, sekaligus mengedarkan ke masyarakat. Karena keberaniannya ini, PRD memandang perlu memberi penghargaan.

Sedangkan Pramudya sendiri setelah menerima PRD Award mengatakan bahwa dia sering mendapat penghargaan dari luar negeri, tetapi penghargaan dari PRD  ini yang paling dia suka.

Baca juga: Saat Pertama Masuk LP Cipinang

Pramudya Ananta Toer adalah sastrawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Pascaperistiwa 1965, bertahun-tahun dia dibuang (ditahan tanpa proses pengadilan) oleh rezim Soeharto ke kamp penahanan di Pulau Buru. Setelah bebas, karya-karyanya diterbitkan dan banyak diburu dan dibaca oleh mahasiswa.

Pramudya Ananta ToerPramudya Ananta Toer saat menerima penghargaan PRD Award dalam Deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) 22 Juli 1996. (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

Tahun 1989, tiga aktivis di Yogyakarta  ditahan karena mendiskusikan karyanya yang dianggap mengajarkan paham komunis. Beberapa pers mahasiswa yang memuat wawancara dengan Pramudya dibredel oleh pihak kampus atas desakan penguasa militer.

Dalam keputusan kongres tentang hak-hak dasar mendesak, pada poin 10, PRD menyatakan penghargaan terhadap hak menentukan nasib sendiri bangsa Timor-Timur, Bangsa Aceh, Bangsa Papua Barat dengan referendum di bawah pengawasan badan-badan dunia. Atas dasar keputusan itu, perlunya PRD memberikan penghargaan kepada Xanana Gusmao dan Dr Thomas Wanggai.

Pengharagaan untuk Xanana Gusmao diwakili Puto Naldo Rei, seorang pemuda Timor-Timur, yang membacakan statement dari CNRM (Conselho Nacional de Resistência Maubere/Dewan Perlawanan Timor Leste Untuk Kemerdekaan).

"Rakyat Maubere sangat bangga atas perjuangan PRD selama ini. Selalu berjuang bersama-sama rakyat kecil untuk merubah  nasib mereka, yang selalu ditindas oleh rezim Orde Baru," ucap Puto.

Xanana Gusmao adalah pimpinan Falintil, sayap bersenjata Fretelin (partai terbesar). Selama bertahun-tahun dia memimpin perjuangan gerilya di hutan. Tahun 1987, ia memutuskan keluar dari Fretilin dan membentuk Dewan Pertahanan Nasional rakyat Maubere (CNRM). Pada tahun 1992 dia ditangkap, diadili, dan dipenjara di LP Cipinang.

Dr Thomas Wanggai (almarhum), yang diwakili oleh Forum Komunikasi Pemuda-Mahasiswa Irian. Thomas Wanggai adalah tokoh proklamator berdirinya Republik Melanesia Barat, Desember 1988. Dia didakwa dengan pasal subversi, dan dijatuhi hukuman 20 tahun. Ditahan sejak tahun 1990 di LP Cipinang. Pada tanggal 12 Maret dia meninggal dalam perjalanan dari  LP Cipinang menuju Rumah Sakit Polri di Kramatjati.

Salah satu tokoh pers yang mendapat PRD Award adalah Goenawan Muhamad. PRD memberi apresiasi kepadanya atas perlawanannya yang konsisten kepada rezim Soeharto, yang telah membredel tiga media besar tahun 1994, yakni; Tempo, Editor, Detik. Bersama gerakan pro-demokrasi lainnya, Goenawan Muhamad berani tampil di depan menjadi Ketua Presidium Nasional KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu). []

*Petrus Hariyanto, Sekjen PRD

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.