2 Kompleks Makam Raja-Raja Mataram di Yogyakarta

Raja-raja Mataram di Yogyakarta memiliki pemakaman khusus yang disiapkan oleh kerajaan, yakni Kompleks Makam Raja-Raja Mataram Imogiri dan Kotagede
Salah satu gapura yang ada di Kompleks Pemakaman Raja-Raja Mataram Kotagede, Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta – Puluhan undakan anak tangga berjejer dari bawah menuju ke area kompleks pemakaman di kawasan Makam Raja-Raja Mataram Imogiri, di wilayah Desa Girirejo dan Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul.

Bangunan dan ornamen klasik tampak jelas di kawasan pemakaman yang merupakan pemakaman Raja-Raja Mataram ini, letaknya sekitar 16 kilometer ke arah tenggara Kota Yogyakarta.

Pemakaman yang juga disebut dengan Pasarean Imogiri ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, tepatnya tahun 1632. Pembangunan kompleks pemakaman ini dipimpin oleh Kiai Tumenggung Citrokusumo, dengan arsitektur perpaduan Hindu dan Islam.

Ciri arsitektur khas Islam Jawa atau arsitektur Islam-Hindu abad 17 dapat dilihat dari bata merah yang mendominasi area makam bagian atas.

Batu bata yang menyusun bangunan kompleks pemakaman Imogiri direkatkan tidak dengan spesi khusus seperti semen. Batu-batu itu diperkirakan direkatkan menggunakan metode kosod.

“Permukaan bata yang satu digosokkan dengan permukaan bata yang lain dengan diberi sedikit air hingga keluar semacam cairan pekat. Cairan pekat inilah yang kemudian melekatkan satu bata dengan bata lainnya,” demikian tertulis dalam laman resmi Keraton Yogyakarta.

Terletak di Perbukitan

Kompleks Makam Imogiri terletak di kawasan perbukitan. Dilansir laman resmi Keraton Yogyakarta, pemilihan bukit sebagai lokasi tidak lepas dari konsep masyarakat Jawa prahindu. Konsep itu memandang bukit atau tempat yang tinggi, sebagai lokasi sakral dan tempat bersemayamnya roh nenek moyang.

Cerita Makam Raja Mataram 1

Sejumlah pria yang mengenakan pakaian adat Jawa menapaki undakan atau anak tangga di Kompleks Pemakaman Raja-Raja Mataram Imogiri, Bantul. (Foto: Tagar/Ist/Dok Kratonjogja.id)

Hal lain adalah kepercayaan yang menganggap semakin tinggi tempat pemakaman, maka semakin tinggi pula derajat kemuliaannya.

Imogiri berasal dari kata hima dan giri. Hima berarti kabut dan giri berarti gunung, sehingga Imogiri bisa diartikan sebagai gunung yang diselimuti kabut.

Ratusan anak tangga yang menuju ke area pemakaman dibuat pendek, kemungkinan untuk memudahkan para peziarah yang akan berkunjung, khususnya yang mengenakan pakaian adat Jawa. Aturan mengenakan pakaian adat tersebut masih berlaku hingga kini, khususnya di beberapa area tertentu di kompleks pemakaman.

Undakan atau anak tangga yang menuju ke atas tersebut berbentuk lurus dan menghubungkan beberapa gapura. Gapura-gapura yang ada sekaligus menjadi batas wilayah di area dalam pemakaman.

Area pertama yang ditandai dengan adanya gapura supit urang merupakan ruang publik, sekaligus sebagai jalan masuk menuju Kasultanagungan.

Area kedua dinamai Srimanganti, yang ditandai dengan gapura paduraksa yang memiliki atap. Area ini merupakan area semi sakral. Semua gapura paduraksa di kompleks pemakaman ini memiliki daun pintu yang bisa dibuka tutup, dilengkapi ornamen berbentuk sayap pada kedua sisinya, yang melambangkan lepasnya burung dari sangkar, sebuah filosofi jawa dalam memandang arwah yang lepas dari badan.

“Di atas area semi sakral tersebut terdapat area sakral yang disebut sebagai Kedhaton. Di area sakral dan semi sakral inilah terdapat makam para Raja dan keluarga terdekatnya.”

Raja yang pertama kali disemayamkan di sini adalah Sultan Agung Hanyakrakusuma, dan dilanjutkan dengan pemakaman Raja-raja penerusnya. Pembagian area pemakaman juga dilakukan saat Kerajaan Mataram dibagi menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Di kompleks pemakaman raja-raja ini terdapat beberapa kompleks utama, yaitu Kasultanagungan, Pakubuwanan, Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan Yogyakarta.

Cerita Makam Raja Mataram 3Anak tangga yang menuju gapura di Kompleks Pemakaman Raja-Raja Mataram Kotagede. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Di kompleks makam Raja-raja Kasultanan Yogyakarta, terdapat tiga astana atau kedhaton sebagai ruang inti pemakaman Sultan, yaitu Kedhaton Kasuwargan, sebagai makam Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Sri Sultan Hamengku Buwana III; Kedhaton Besiyaran, sebagai makam Sri Sultan Hamengku Buwana IV, Sri Sultan Hamengku Buwana V, dan Sri Sultan Hamengku Buwana VI; Kedhaton Saptarengga, sebagai makam Sri Sultan Hamengku Buwana VII, Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, Sri Sultan Hamengku Buwana IX.

Sementara Sri Sultan Hamengku Buwana II yang wafat pada tahun 1828 dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-raja Mataram Kotagede.

Kompleks Raja-Raja Mataram Kotagede

Suasana kompleks makam Raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta, siang itu, cukup tenang. Beberapa abdi dalem duduk bersila di dalam pendopo yang berfungsi sebagai kantor.

Matahari bersinar redup tertutup awan kelabu. Angin siang yang sesekali bertiup pelan, menggiring gumpalan mendung ke atas kompleks pemakaman. Seolah tak ingin mentari dapatkan celah, untuk menyapa dan tebarkan gerah.

Satu unit kipas angin yang berdiri di dalam pendopo, seperti cukup mampu menambah kesejukan para abdi dalem di depannya.

Seorang abdi dalem menjelaskan tata tertib untuk masuk ke area makam. Termasuk harus mengenakan pakaian adat dan melepas alas kaki.

Pintu gerbang menuju area pemakaman berukuran cukup tinggi, dengan ornamen tradisional khas bangunan zaman dahulu. Daun pintunya terbuat dari kayu, juga berornamen lawas.

Di sebelah kiri gerbang area makam, tiga pedupaaan berjejer. Bekas-bekas lilin dan sisa pembakaran terlihat jelas di situ.

Cerita Makam Raja Mataram 4Salah satu area di kawasan Kompleks Makam Raja-Raja Mataram Kotagede, Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Makam yang ada di situ berjumlah 627, 81 makam di antaranya merupakan makam pokok, termasuk di dalamnya makam Ki Ageng Pamanahan, Nyi Ageng Pamanahan, Panembahan Senopati, Pangeran Mangkubumi, dan Sri Sultan Hamengkubuwono II.

Hastono Darwinto, seorang abdi dalem di tempat itu, mengatakan, kompleks pemakaman yang menjadi satu dengan kompleks masjid besar Kotagede tersebut, dibangun pada abad ke-16, atau sekitar tahun 1.500-an. Mulai dari pantangan hingga kepercayaan para peziarah.

Selain harus mengenakan surjan untuk peziarah pria dan kemben untuk peziarah wanita, saat memasuki area makam pun harus dalam keadaan bersih, atau tidak sedang haid. Peziarah juga dilarang memotret di area makam.

Hal itu kata dia, karena aturan tersebut diberlakukan sejak zaman dahulu, sekaligus bertujuan untuk melestarikan budaya.

Untuk memudahkan peziarah, para abdi dalem penjaga kompleks pemakaman itu menyiapkan pakaian adat untuk disewakan. Tarif sewa termasuk bea masuk ke area makam sebesar Rp35 ribu.

"Kita sewakan pakaian itu Rp35 ribu. Itu dengan tarif masuk lokasi makam. Boleh juga bawa (pakaian adat) dari rumah," ucapnya.

Para pengunjung dapat berziarah ke makam mulai pukul 10.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Setelah pukul 17.00 WIB, gerbang makam ditutup. Tapi, pengunjung yang sudah mendapatkan izin tertulis dari Keraton Yogyakarta, boleh memasuki area makam di luar jam buka, bahkan pada malam hari.

Cerita Makam Raja Mataram 5Sumur yang ada di salah satu sudut Kompleks Makam Raja-Raja Mataram Kotagde, Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Hastono melanjutkan, sebagian besar peziarah datang pada malam hari. Tapi, mereka tidak berziarah ke makam, melainkan ke sendang atau mata air di kompleks makam tersebut.

Waktu yang paling diminati oleh peziarah, lanjut Hastono, adalah pada malam Jumat Pon. Karena Panembahan Senopati dilahirkan dan wafat pada hari Jumat Pon.

Di area itu ada dua sendang yang dipisah oleh tembok pembatas. Untuk sampai di sendang wanita, peziarah harus lewat di depan sendang pria.

Puluhan ekor ikan lele yang konon berusia puluhan tahun, berenang bersama jenis ikan lain di kedua sendang.

Di ujung tembok sendang pria, terdapat sumur kecil dengan gayungnya. Kata Hastono, sebagian peziarah meyakini bahwa air dari sumur itu dapat mengobati berbagai macam penyakit. Menurutnya kesembuhan itu wajar saja, karena kesembuhan sangat tergantung pada sugesti dan keyakinan.

"Kalau mereka yakin, penyakitnya sembuh. Yang sembuh banyak. Obat untuk apa saja. Kalau malam banyak sekali yang ambil air," urainya. []

Berita terkait
Makna 64 Beringin di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta
Ada filosofi dari 64 pohon beringin di sekitar Alun-alun Utara Yogyakarta, termasuk sepasang beringin yang terletak tepat di tengah alun-alun.
Keris Sabuk Inten dan Koleksi Museum Purbakala di Bantul
Sebilah keris dengan 11 lekuk menjadi masterpiece Museum Sejarah Purbakala Pleret, Bantul. Sejumlah koleksi lain juga ada di tempat ini.
30 Tahun Setelah Bom Operasi Badai Gurun di Amiriyah Irak
Selama 30 tahun sejumlah warga Irak merasa hidup dalam ketidakadilan, yakni mereka yang keluarganya menjadi korban serangan bom di Amiriyah.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.