126 Laporan Keluhan Pelayanan Publik di Jateng

Ombudsman Perwakilan Jawa Tengah (Jateng) menerima 126 laporan buruknya pelayanan publik di Jateng selama tahun 2019.
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Tengah membeber ragam modus maladministrasi, salah satunya berkedok sumbangan pendidikan. (Foto: Tagar/Agus Joko Mulyono)

Semarang - Tercatat sejak Januari hingga September tahun 2019 ini Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jawa Tengah (Jateng) menerima 126 laporan buruknya pelayanan publik di Jateng. Dari ratusan keluhan itu, penyelenggara pelayanan di lingkup pemerintah kabupaten/kota mendominasi laporan masyarakat.

“Jadi pelayanan publik di pemerintah kabupaten/kota ada 43 laporan, disusul kepolisian ada 13 laporan, agraria atau pertanahan ada 12 laporan serta penyelenggara desa ada 11 laporan masyarakat,” ungkap Kepala Keasistenan Pemeriksaan Ombudsman Jateng, Sabarudin kepada Tagar di Semarang, Senin 7 Oktober 2019.

Sabarudin menyebut keluhan masyarakat soal pelayanan publik ini akar persoalannya karena pelanggaran maladministrasi. Dimana penundaan berlarut mendominasi atas keluhan yang ada.

Ada 49 laporan masyarakat mengenai penundaan berlarut. Terjadi di seluruh instansi, lembaga daerah pelayanan publik di Jawa Tengah. 

Penundaan berlarut itu, lanjut Sabarudin, semisal di pelayanan pembuatan EKTP atau laporan kepolisian. Dua instansi pelayanan publik itu tidak memberi kepastian akan waktu penyelesaian pembuatan EKTP maupun laporan atau pengaduan yang disampaikan.

Di pelayanan perizinan, juga terjadi maladministrasi penundaan berlarut. Di instansi pendidikan pun demikian. Ketika ada pengaduan soal pungutan liar berkedok pengadaan seragam, Dinas Pendidikan (Disdik) tidak segera memberikan informasi soal tindaklanjut penanganan keluhan masyarakat itu.

“Ini karena ada tahapan penyelesaiaan yang berjenjang. Dari SD masuk ke Disdik, Disdik masih perlu klarifikasi. Hanya saja, informasi penanganan itu masih berlarut disampaikan ke pelapor. Sehingga pelapor merasa terlalu lama penyelesaian kasus yang diadukannya,” beber dia.

Sabarudin belum bisa memastikan apakah penundaan berlarut itu memang kesengajaan atau karena faktor lain semisal berbelitnya prosedur pelayanan. “Karena beberapa kasus itu masih dalam proses pemeriksaan kami,” dalihnya. Namun diakui Sabarudin, penundaan berlarut tersebut bisa memunculkan pelanggaran lain, yakni munculnya praktik pungutan liar.

“Sampai saat ini, karena proses pemeriksaan kita kemudian ditindaklanjuti maka belum disampaikan ke penegak hukum. Jadi karena masalah pelayanan publik ini sudah ada perbaikan dan penyelesaiaan sehingga belum kami serahkan ke penegak hukum,” imbuh dia.

Maladministrasi Dunia Pendidikan

Sementara itu, dari 43 laporan masyarakat soal pelayanan publik di lingkungan pemerintah kabupaten/kota, 17 diantaranya menyangkut bidang pendidikan. Ketua ORI Jateng Siti Farida menyebut selain penundaan berlarut, substansi maladministrasi juga ada yang karena penyimpangan prosedur.

Rincinya, terjadi di salah satu SMAN di Brebes, SMAN dan SMA swasta di Semarang, SMAN di Kendal, SMKN di Kota Tegal. Di tingkat SD dan SMP, yakni SDN di Kota Semarang, SDN di Surakarta, SDN di Klaten, SMP swasta di Kota Semarang, SMPN di Kudus, SMPN di Kendal, SMPN di Kota Semarang, SMPN di Klaten, SMPN di Kabupaten Tegal dan MTs di Magelang.

Maladministrasi yang terjadi bermodus seperti penggalangan sumbangan yang mengarah pada pungutan tidak resmi, permintaan uang kepada orang tua atau wali murid untuk studi lingkungan, pembelian baju seragam, pembuatan kartu pelajar dan permintaan uang gedung.

“Permintaan sumbangan seringkali juga berujung pada penahanan rapor siswa. Ada pula siswa yang tidak dapat mengikuti Ujian Nasional karena orang tua atau wali murid belum melunasi sumbangan tersebut,” ujar Siti Farida.

Bagi Ombudsman, prinsip dasar penyelenggaran pendidikan adalah menjadi tanggung jawab negara. Karenanya wajib belajar 12 tahun, termasuk seluruh pembiayaannya otomatis menjadi beban dari pemerintah, mulai pusat hingga daerah.

Apalagi, lanjut dia, sekolah sudah menerima Dana BOS sehingga tidak ada lagi celah untuk melakukan sumbangan atau pungutan kepada orang tua murid. Sayangnya, banyak satuan pendidikan berkilah ada regulasi yang membolehkan mengadakan penggalangan dana maupun permintaan sumbangan.

“Value dasar penyelenggaraan pendidikan itu adalah tanggung jawab negara. Namun ini menjadi bias karena aturan pelaksanaan di bawahnya. Permendikbud membolehkan adanya penggalangan dana atau permintaan sumbangan. Ini yang menjadi konsen kami, lewat Ombudsman pusat, untuk mengevaluasi aturan itu sehingga kejadian yang sama tidak terulang tiap tahunnya,” tegas Farida.

Satu contoh maladministrasi berujung penggalangan dana yang lagi marak di bulan Oktober ini adalah kegiatan studi lingkungan. Dinas Pendidikan kabupaten/kota rata-rata sudah memasukkan kegiatan yang dikenal dengan studi tur itu dalam Kalender Pendidikan.

Biasanya kegiatan belajar di luar kelas dilakukan setelah Penilaian Tengah Semester (PTS).

“Ini yang membuka peluang terjadinya maladministrasi berujung praktik pungutan tak resmi. Semestinya kalau mau mencegah terjadinya itu, ya dikoreksi juga dong Kalender Pendidikannya.

Kalender Pendidikan yang disusun dinas mungkin harus tegas tidak menyebutkan belajar di luar kelas. Mungkin maksudnya positif tapi faktanya banyak dikeluhkan orang tua,” beber dia. []

Baca juga:

Berita terkait
322 Hektare Hutan Lereng Merapi Jawa Tengah Terbakar
Hutan lereng Gunung Merapi di kawasan Jurang Jero, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang terbakar mencapai 322 hektare
Ribuan Warga Jawa Timur Salat, Mohon Tuhan Turuni Hujan
Ribuan warga menggelar salat Istisqa atau salat minta hujan di Lapangan Mapolda Jatim, Minggu 6 Oktober 2019.
50 Warga Jawa Barat di Wamena Minta Dipulangkan
Sebanyak 50 orang warga Jawa Barat minta dipulangkan dari Wamena Papua. Ini kata Gubernur Jawa Barat
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.