10 Provinsi di Indonesia dengan Kasus Kumulatif HIV AIDS Terbanyak 1987 Sampai 2021

Dengan jumlah kasus HIV/AIDS secara nasional 579.188 sampai 31 Desember 2021 bisa jadi epidemi HIV/AIDS akan bermuara sebagai ‘afrika kedua’
Ilustrasi. (Sumber: peacecorps.gov)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id – Berdasarkan rangkuman data dari laporan siha.kemkes.go.id menunjukkan ada 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS terbanyak priode tahun 1987 sampai 31 Desember 2021.

10 provinsi tersebut adalah: Jawa Timur, DKI Jakarta, Papua, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Banten dan Kepulauan Riau (Lihat Tabel I).

10 provinsi dng kasus hiv aids terbanyak1987 2021TABEL I. 10 provinsi dengan jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak dari tahun 1987 sampai 31 Desember 2021. (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap)

Fakta terkait jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak di atas jadi ironis karena sejak reformasi gerakan moral menutup semua tempat pelacuran (d/h. lokalisasi pelacuran). Jawa Timur (Jatim) yang melaporkan kasus HIV/AIDS terbanyak merupakan daerah yang sangat ekstrem menutup tempat pelacuran. Dikabarkan puluhan lokasi pelacuran sudah ditutup di Jatim.

Itu menunjukkan apa yang salama ini dikatakan oleh kalangan yang memakai ‘baju moral’ bahwa lokalisasi pelacuran sebagai ‘biang keladi’ penyebaran HIV/AIDS ternyata tidak sepenuhnya benar. Di 10 provinsi yang melaporkan kasus HIV/AIDS terbanyak tidak ada lokalisasi pelacuran.

Maka, insiden infeksi HIV baru tidak hanya terjadi di lokalisasi pelacuran karena risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tidak hanya terjadi melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PKS) langsung.

Sejak lokalisasi dibumihanguskan dengan gerakan moral, lokalisasi pelacuranpun pindah ke jalanan yang selanjutnya melompat ke media sosial.

Baca juga: Lokalisasi Pelacuran dari Jalanan ke Media Sosial

Transaksi seks dilakukan dengan ponsel, sedangkan eksekusinya dilakukan sembarang waktu dan di sembarang tempat sehingga mustahil untuk dijangkau.

Thailand, misalnya, denan 480.000 kasus HIV/AIDS bisa mengendalikan penyeberan HIV/AIDS dengan menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordil. Namun, program ini hanya bisa dijalankan jika praktek PSK dilokalisir.

Di Indonesia beberapa daerah memenjarakan PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dengan payung hukum peraturan daerah (Perda). Tapi, langkah ini bak menggantang asap.

Pertama, satu PSK dipenjarakan ratusan PSK akan menggantikannya.

Kedua, satu PSK dipenjarakan sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS yaitu laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK yang mengidap HIV/AIDS tersebut (Lihat matriks).

risiko irt tertular HIVMatriks. Risiko ibu rumah tangga tertular HIV/AIDS dibanding PSK. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Thailand berhasil karena yang dihukum germo atau mucikari sehingga mereka memaksa laki-laki memakai kondom. Sedangkan di Indonesia germo justru menekan PSK agar melayani laki-laki yang tidak mau memakai kondom.

Secara empiris sekarang ini pemerintah mustahil bisa menanggulangi HIV/AIDS karena ‘pintu masuk’ HIV/AIDS ada di ranah privat yaitu perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong).

(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.

Kondisinya kian runyam karena dalam berbagai kegiatan terkait dengan HIV/AIDS yang jadi objek selalu perempuan. Padahal, yang menyebarkan HIV/AIDS melalui hubungan seksual justru laki-laki.

Lihat saja program tes HIV terhadap ibu hamil. Tidak ada regulasi yang mewajibkan suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi HIV-positif untuk menjalani tes HIV.

Di Rangkasbitung, Lebak, Banten, misalnya, dalam satu kesempatan wawancara dengan pengelola klinik VCT di RSU Rangkasbitung beberapa tahun lalu, terkuak fakta suami meninggalkan istri dan anak-anaknya ketika diberitahu istrinya yang hamil HIV-positif.

Maka, sejatinya pemerintah, dalam hal ini pemerintah di daerah yaitu kabupaten dan kota, membalik paradigma berpikir: yang diwajibkan tes HIV adalah suami ibu rumah tangga yang hamil.

Jika suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi HIV-positif tidak menjalani tes HIV, maka mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Tabel II jumlah kasus di 34 provinsiTABEL II. Jumlah kasus HIV/AIDS di 34 provinsi dari tahun 1987 sampai 31 Desember 2021. (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap)

Sementara itu 24 provinsi lain jangan dulu membusungkan dada, karena jumlah kasus yang dilaporkan belum tentu menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di provinsi tersebut.

Hal itu bisa terjadi karena jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

fenomena gunung es

Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Maka, jika disimak empat ‘pintu masuk’ HIV/AIDS di atas yaitu perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS, maka yang bisa memutur mata rantai penyebaran HIV/AIDS hanya masyarakat.

Persoalannya adalah masyarakat tidak memahami empat ‘pintu masuk’ HIV/AIDS di atas karena selama ini, sejak awal pandemi 40 tahun yang lalu, informasi HIV/AIDS melalui materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengaitkan ‘seks bebas’ sebagai penyebab HIV/AIDS. Sampai tulisan ini dipublikasikan tidak ada penjelasan yang konkret tentang apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas.’

Tapi, jika diperhatikan pemakaian ‘seks bebas’ dalam pemberitaan, ceramah, diskusi dan lain-lain mengarah ke perzinaan dengan PSK di lokaliasi pelacuran.

Maka, jadilah ‘seks bebas’ sebagai bumerang yang menjadi kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia karena setengah orang kemudian menganggap penalaran HIV/AIDS hanya terjadi melalui hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran.

Mereka pun melakukan perilaku seksual dengan perempuan yang bukan PSK di rumah kontrakan, kamar kos, penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang dan apartemen dengan risiko bisa terjadi penularan HIV/AIDS.

Dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS secara nasional 579.188 sampai 31 Desember 2021 bisa jadi epidemi HIV/AIDS di negeri ini akan bermuara sebagai ‘afrika kedua.’ []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Ibu Rumah Tangga Tertular HIV/AIDS di Kota Bandung Lebih Banyak Daripada Mahasiswa
Kemungkinan besar mahasiswa dan suami yang tertular HIV/AIDS di Kota Bandung melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak langsung
0
10 Provinsi di Indonesia dengan Kasus Kumulatif HIV AIDS Terbanyak 1987 Sampai 2021
Dengan jumlah kasus HIV/AIDS secara nasional 579.188 sampai 31 Desember 2021 bisa jadi epidemi HIV/AIDS akan bermuara sebagai ‘afrika kedua’