Catatan Akhir Tahun, Pengakuan Wardy dan Bisnis Sabu Oknum Polisi

Catatan akhir tahun, pengakuan Wardy dan bisnis sabu oknum polisi. Wardy, terpidana kasus narkoba, menduga 75 persen anggota Polres Buru pemakai narkoba.
RILIS AKHIR TAHUN BNN: Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Budi Waseso (kedua kanan) bersama Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi (kanan) didampingi Sekretaris Utama BNN Brigjen Pol Sistersins Mamadoa (kedua kiri), Deputi Pemberantasan BNN Inspektur Jenderal Polisi Arman Depari (kiri) memberikan keterangan kepada media pada acara rilis akhir tahun 2017 BNN di gedung BNN, Jakarta, Rabu (27/12). Sepanjang Periode Januari sampai Desember 2017 BNN berhasil mengungkap 46.537 kasus narkoba dan 27 kasus Tindak Piana Pencucian Uang (TPPU) yang bersumber dari kejahatan Narkoba dengan jumlah tersangka yang diamankan 58.365 orang, 34 tersangka TPPU dan 79 orang lainnya ditembak mati karena melawan petugas saat dilakukan penindakan. (Foto: Ant/Muhammad Adimaja)

Ambon, (Tagar 30/12/2017) – Pengakuan Wardy Marasabessy, terpidana lima tahun penjara dalam kasus narkoba di ruang sidang Kantor Pengadilan Negeri Ambon, Maluku pada November 2017 cukup mengejutkan.

Dalam posisi diperiksa sebagai terdakwa oleh majelis hakim yang diketuai Esau Yarisetou didampingi Samsidar Nawawi dan Jenny Tulak selaku hakim anggota, Wardy menduga bahwa 75 persen anggota Polres Buru adalah pemakai narkoba.

Pengakuan Wardy yang juga anggota Polres Buru berpangkat brigadir itu sesungguhnya memerlukan suatu proses pembuktian secara valid oleh pihak berkompeten, dalam hal ini pihak BNN maupun Ditresnarkoba Polda Maluku.

Lantaran di satu sisi Wardy adalah seorang pemakai narkoba golongan satu jenis sabu-sabu, di sisi lain dia juga didakwa membuka bisnis kecil-kecilan menjual barang haram baik kepada warga sipil atau pun anggota Polres Buru.

Sehingga dia bisa menyatakan secara terbuka dalam persidangan bahwa sebagian besar anggota Polres Buru adalah pemakai karena membeli langsung dari yang bersangkutan, atau pernah duduk bersama untuk nyabu.

Walau dia menyebut 75 persen, namun hanya empat anggota Polres Buru yang tertangkap melakukan pembelian dari Wardy, dua dari mereka berkas perkaranya diproses hukum sampai ke pengadilan.

Sedangkan berkas perkara dua anggota lainnya dikembalikan jaksa untuk dilengkapi karena kurang cukup bukti, bahkan hasil tes urine satu oknum anggota kepolisian berinisial AP dinyatakan negatif.

Wardy divonis bersalah terlibat penjualan sabu-sabu karena didukung keterangan para saksi serta barang bukti berupa 16 paket sabu, satu buah dompet berwarna cokelat dan uang tunai Rp 60 juta yang terletak di atas tempat tidurnya.

Penggeledahan yang dipimpin Kasat Narkoba Polres Buru AKP Jufri Jawa bersama saksi Bahtiar dan tiga orang rekannya pada Sabtu (11/3) juga menemukan satu kotak kanebo berisikan alat hisap sabu (bong), sebuah kotak catte bat berisi sedotan plastik, sumbu pires kaca, cattenbat, korek api, serta enam unit telepon genggam.

Terungkapnya kasus ini bermula dari saksi Aiptu Bahtiar Teppo yang melakukan penangkapan terdahadap saksi Ali Alkatiri (dalam BAP terpisah) yang sedang membawa sabu-sabu kemudian diinterograsi.

Saksi mengakui barang tersebut dibeli dari saksi lainnya bernama Gunawan Santoso (dalam BAP terpisah) yang juga anggota Polres Buru dan kini dalam proses penuntutan, dan Santoso juga mengaku membeli satu paket sabu dari terdakwa Wardy senilai Rp 2,5 juta per paket.

Oknum Polda Sulsel

Bila Wardy mendapatkan sabu-sabu dari pamannya berinisial AM, lain halnya dengan Saparuddin alias Sapar, oknum anggota Polda Sulsel yang membantu proses pengiriman puluhan gram sabu-sabu kepada Andrianto Hamid di Kota Ambon.

"Pengiriman narkotika golongan satu jenis sabu ini sudah dilakukan berulang kali melalui Kantor Tiki Mandala Makassar atas pesananan Adriyanto Hamid (dalam berkas acara terpisah)," kata jaksa penuntut umum Kejaksaan Tinggi Maluku, Awaludin.

Pengiriman pertama dilakukan terdakwa setelah Ardiyanto menghubungi Sapar lewat telepon genggam sebanyak 30 gram, kemudian Sapar menghubungi rekannya bernama Erwin alias Wiwin untuk patungan uang guna membeli sabu dan dikirimkan kepada Ardiyanto.

Oknum anggota Polda Sulsel ini mengeluarkan uang Rp 10 juta kemudian Wiwin (DPO polisi) memberikan uang Rp 5 juta guna membeli 30 gram sabu-sabu.

Selanjutnya Wiwin menyerahkan satu paket ukuran besar bersama sebuah timbangan digital kepadanya.

Untuk pengiriman paket kedua sebanyak 40 paket sekitar April 2017 atas nama Nasrudin alias Butung melalui Kantor Tiki Bone Sulsel kepada Andriyanto dengan alamat Amboina Taylor, Jalan Pala, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon.

Menurut keterangan karyawati perusahaan penitipan barang, sekitar Maret dan April 2017, ada pengiriman paket masing-masing seberat satu kilogram menggunakan nama Saparuddin sebagai pihak pengirim dan Andriyanto Hamid selaku pihak penerima barang dengan alamat Amboina Taylor, Lalan Pala, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon.

"Paket yang dikirimkan lewat perusahaan kami adalah alat-alat mesin jahit dan ada aturan perusahaan untuk tidak mengirimkan benda-benda berbahaya atau yang dilarang seperti narkoba," jelas saksi.

Atas keterangan tersebut, majelis hakim mengatakan, seharusnya pimpinan perusahaan dihadirkan dalam persidangan karena prosedur standar operasionalnya sudah jelas namun tidak didukung alat pendeteksi narkoba.

Apalagi kejadian pengiriman narkoba sudah terjadi berulang kali dan bukan saja di Ambon tetapi juga di Ternate, Provinsi Maluku Utara, sehingga publik bisa menduga pihak perusahaan bekerja sama dengan bandar narkoba dalam melakukan pengiriman narkotika jenis sabu.

Sementara saksi Winani Wati mengaku diminta bantuannya memberikan kartu tanda penduduk oleh terdakwa untuk membuka rekening pada salah satu kantor bank swasta, dan buku rekeningnya dipegang langsung oleh Sapar.

Sepak terjang Sapar sebagai pemasok sabu-sabu di wilayah hukum Polda Maluku juga menyeret seorang anggota berpangkat brigadir yang diadili hakim PN Ambon sebagai pengguna narkoba.

Sepuluh Kasus

Keterlibatan anggota Polri dalam bisnis haram narkoba maupun sebagai pengguna sabu-sabu yang berujung proses hukum di Kantor Pengadilan Negeri Ambon sepanjang tahun 2017 lumayan tinggi.

Humas PN setempat Hery Setyobudi menuturkan, anggota Polri yang terlibat kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang sejak Januari hingga Oktober 2017 ada sepuluh kasus, ditambah beberapa perkara yang baru disidangkan pada November dan Desember.

"Dari 69 perkara tindak pidana umum berupa pelanggaran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sepuluh perkara di antaranya adalah anggota Polri yang menjadi terdakwa, dan ada yang telah divonis penjara," ujarnya.

Sisanya adalah para terdakwa dan terpidana yang memiliki latar belakang sebagai masyarakat biasa, pegawai swasta, satpam, maupun abdi sipil negara (ASN) yang telah dijatuhi hukuman penjara oleh majelis hakim maupun yang masih menjalani proses persidangan.

Anggota Polri yang diproses hukum di PN Ambon karena kasus seperti ini kebanyakan adalah pemakai dan barang bukti yang diamankan berupa alat hisap (bong) dan sabu-sabu yang jumlahnya bervariasi.

Misalnya Mario Athiuta, anggota Propam Polres Seram Bagian Timur atau Fachrudin Fadangrani alias Farid yang merupakan anggota Polair Polda Maluku telah divonis 1,5 tahun penjara sejak akhir Agustus 2017 karena terbukti membeli satu paket sabu dari seseorang bernama Mardin di kawasan IAIN Ambon.

Terdakwa Farid ditangkap awal Januari 2017 setelah bersama saksi Bripka Akmal Mahu secara bersama-sama menikmati sabu-sabu di rumah salah satu keluarga saksi dan dia mengaku awalnya berniat membantu mengungkap masuknya 200 gram sabu-sabu dari Makasar antara akhir 2016 hingga Januari 2017.

Gunawan Santoso dan Nurachman alias Ipul, anggota Polres Buru yang merupakan rekan Wardy Marasabessy mengaku berulang kali membeli narkoba jenis sabu-sabu dari terdakwa.

Terdakwa pernah mengatakan kepada kedua saksi bisa membantu mendapatkan sabu-sabu karena dia ada jalurnya sehingga Gunawan Santoso dua kali melakukan pembelian satu paket sabu-sabu masing-masing seharga Rp 2,5 juta dan saksi Ipul membelinya sebanyak tiga kali.

Mereka juga mengaku sudah beberapa kali menikmati sabu-sabu bersama terdakwa dengan cara membeli narkoba dari orang lain.

Pintu Masuk

Kondisi geografis Maluku yang didominasi wilayah perairan menjadikan peluang bagi para penjahat narkoba mengembangkan bisnis ilegalnya membawa sabu-sabu atau ganja dan obat terlarang lainnya seperti PCC.

"Banyaknya pelabuhan laut pada daerah terluar di Maluku seperti Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya hingga wilayah Wahai, Kabupaten Maluku Tengah menjadi pintu masuk peredaran narkoba ke wilayah ini," kata Direktur Resnarkoba Polda Maluku, Kombes Pol Thein Tabero.

Kini Ditresnarkoba telah melakukan pemetaan wilayah dan diakui terdapat tiga daerah yang paling subur dijadikan jalur peredaran narkoba.

Untuk narkoba golongan satu jenis sabu-sabu biasanya masuk dari wilayah barat Indonesia kemudian melalui Makassar (Sulsel) dan langsung ke Maluku.

Pengirimannya biasa melalui perusahaan jasa pentitipan barang, ada yang membawa langsung lewat pelabuhan laut maupun pesawat udara dan ada juga yang masuk melalui kapal-kapal tradisional yang masuk melalui Pulau Buru.

Sedangkan Pulau Wetar dijadikan pintu masuk bagi sindikat peredaran narkoba karena mereka berusaha membawanya ke Timor Leste, dan untuk pelabuan penyeberangan feri di Wahai, Kabupaten Maluku Tengah menjadi pintu masuk narkotika jenis ganja dari Papua untuk selanjutnya dibawa ke Pulau Ambon.

"Masih minimnya aparat kepolisian di wilayah seperti ini selalu dimanfaatkan para bandar narkoba untuk meloloskan barang mereka," ujarnya.

Panit I Subdit I Ditresnarkoba Polda Maluku Iptu Pol Irwan menjelaskan, pihaknya mengungkap 107 kasus tindak pidana peredaran gelap narkoba selama tahun 2016, sedangkan tahun 2017 sebanyak 104 kasus.

"Jangan dilihat trend kasusnya menurun tahun ini, sebab yang terungkap hanyalah 104 kasus namun masih ada yang terselubung, dan sangat disayangkan juga ada satu anak bawah umur terlibat peredaran narkoba," ujarnya.

Namun kasus anak masih di bawah umur yang terungkap pada bulan Juli ini dilakukan diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak, dari proses peradilan ke proses di luar pidana oleh polisi jadi kasusnya tidak sampai ke pengadilan.

Yang paling menonjol sebagai perantara karena dimanfaatkan bandar adalah para pelaku yang berprofesi sebagai tukang ojek dengan alasan ekonomi.

"Kondisi seperti ini sebenarnya menjadi bahaya laten dan setiap saat kami melakukan penyuluhan dan berharap agar trendnya bisa menurun," jelasnya.

Menyikapi maraknya peredaran narkoba baik yang dilakukan masyarakat sipil maupun aparat keamanan, Ketua PN Ambon Soesilo mengingatkan, jangan pernah bosan dalam mencegah meluasnya kasus tindak pidana penyalahgunaan narkoba yang dimulai dari lingkungan keluarga.

"Mulailah dengan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap anak-anak di dalam keluarga sebagai lingkungan terkecil," ujarnya.

Kasus tindak pidana peredaran gelap narkoba belakangan ini menunjukkan adanya trend kenaikan yang tinggi dan para pelakunya terdiri dari masyarakat biasa, anggota Polri maupun abdi sipil negara.

Bagi mereka yang terkena Pasal 127 UU Nomor 35 Tahun 2009 biasanya diganjar hukuman antara tujuh bulan hingga satu tahun penjara, dan para pelakunya rata-rata berusia 20 tahun hingga 40 tahun. Sedangkan untuk yang kategori perantara atau pengedar di atas empat hingga tujuh tahun penjara.

"Pengalaman kami bertugas di Papua, ada kasus ganja yang cukup banyak termasuk upaya penjualan empat ton ganja ke luar daerah maka pelakunya sudah masuk kategori bandar sehingga ancaman hukumannya juga bervariasi antara 18 tahun hingga penjara seumur hidup," tandasnya. (Daniel Leonard/ant/yps)

Berita terkait